Tanpa banyak berpikir, pengguna sering kali langsung mengizinkan semua akses tersebut.
Kontak-kontak di ponsel bisa dihubungi secara massal oleh debt collector untuk mempermalukan atau menekan peminjam agar segera membayar.
Ini bukan hanya pelanggaran privasi, tapi juga bentuk kekerasan digital yang sangat merugikan.
2. Teror dan Intimidasi
Setelah jatuh tempo dan peminjam belum mampu membayar, pinjol ilegal akan melakukan penagihan secara kasar dan tidak manusiawi.
Metode mereka juga tidak mengikuti etika penagihan seperti yang ditetapkan OJK.
Alih-alih mengingatkan dengan sopan, mereka justru mengirim pesan berisi ancaman, kata-kata kasar, fitnah, hingga menyebarkan foto pribadi ke kontak lain.
Banyak korban mengalami tekanan psikologis berat, ketakutan, bahkan hingga mengalami gangguan mental akibat intimidasi yang terus-menerus dilakukan.
Teror ini sering datang tidak hanya melalui pesan teks, tetapi juga panggilan tak henti-henti, serta penyebaran hoaks ke keluarga dan rekan kerja.
3. Bunga dan Denda yang Mencekik
Berbeda dengan pinjol legal yang diatur oleh OJK dengan batas bunga maksimal 0,4 persen per hari, pinjol ilegal tidak memiliki batasan bunga dan denda.
Dalam banyak kasus, bunga yang dikenakan bisa mencapai ratusan persen dari nilai pokok pinjaman, bahkan sebelum jatuh tempo.
Jika seseorang meminjam Rp1.000.000, dalam waktu satu minggu jumlah utang bisa melonjak menjadi Rp2.000.000 atau lebih karena bunga harian dan denda keterlambatan yang tidak masuk akal.
Akibatnya, banyak peminjam terjebak dalam siklus gali lubang tutup lubang, mencari pinjaman baru untuk membayar utang lama, dan akhirnya semakin terpuruk dalam jeratan utang.