Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak di Jakarta Melonjak, Pengamat Sosial Beberkan Penyebabnya

Minggu 23 Nov 2025, 19:53 WIB
Ilustrasi KDRT.(dok/poskota.co.id)

Ilustrasi KDRT.(dok/poskota.co.id)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat sebanyak 1.917 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi sepanjang Januari hingga November 2025.

Merespons hal itu, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, menjelaskan, bahwa fenomena kekerasan tidak dapat dilepaskan dari dua faktor besar kultural dan struktural.

Dari perspektif kultural, dikatakan Rissalwan kekerasan sering berakar dari budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia. Ia menegaskan bahwa konsep patriarki kerap disalahartikan.

"Jadi, sebetulnya saya mungkin harus hati-hati juga, disclaimer dulu, budaya patriarki ini kan ada di budaya Muslim, ya. cuma permasalahannya, budaya patriarki ini tidak dipahami secara detail oleh kebanyakan orang," ujar Rissalwan kepada Poskota, Minggu, 23 November 2025.

Baca Juga: Pemprov DKI Perkuat Pencegahan Kekerasan Perempuan dan Anak, Ribuan Korban Sudah Ditangani

"Sehingga, akhirnya maskulinitas laki-laki, kepala keluarga, itu diterjemahkan berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan dalam ajaran Islam," ungkapnya.

Rissalwan mengatakan, kesalahpahaman tersebut kemudian merembet ke kehidupan sehari-hari.

Tidak hanya terbatas dalam hubungan rumah tangga, dominasi berlebihan dari laki-laki sering terbawa ke ruang publik. Mereka merasa memiliki kewenangan untuk mengendalikan perempuan dan anak dan ketika kontrol itu ditolak, kekerasan muncul sebagai respons.

"Tapi juga budaya patriarki ini akhirnya terbawa ke ranah publik, di mana laki-laki merasa dia punya kekuatan untuk bisa mengendalikan dan kalau tidak mau dikendalikan, maka harus menggunakan kekerasan," ucap Rissalwan.

Rissalwan menilai tekanan ekonomi menjadi pemicu kuat terjadinya kekerasan.

"Secara struktural, di beberapa rumah tangga itu kondisi ekonominya membuat memang tingkat stres dari kepala rumah tangga laki-laki itu relatif lebih tinggi," ungkap dia.


Berita Terkait


News Update