Sejak kejadian itu, rumah mereka bukan lagi tempat tinggal yang nyaman. Latif dan istrinya akhirnya pindah, karena tak sanggup terus dihantui bayang-bayang mendiang sang anak.
“Sekarang saya sudah tidak di rumah ini. Saya kalau lihat kamarnya pasti nangis terus. Dulu rumah ini cuma pakai pagar papan. Dan ini kamar anak saya. Saya enggak kuat kalau harus mengingatnya lagi," tuturnya sambil menatap kosong.
Sejak 2009, Latif rutin mendatangi kantor kepolisian untuk menanyakan perkembangan penyelidikan. Namun, harapan pupus saat mendengar kabar mengecewakan.
Baca Juga: Jawaban Mengapa Bekasi Bagian dari Jawa Barat, Padahal Sejarahnya Dekat dengan Jakarta
“Waktu saya tanya tahun 2015 lalu, katanya berkasnya hilang. Saya enggak percaya, Kan kalau data komputer nggak mungkin hilang,” kata dia dengan nada kecewa.
Ia kemudian merasa keinginannya untuk mengusut tuntas kematian anaknya tak lagi mendapat tempat. Bahkan, menurutnya, upaya menemui Wali Kota Bekasi pun kandas. karena prosedur yang menyulitkan.
“Saya sudah pernah ke Pemkot, tapi saya ditolak. Ini pas Zaman Pak Rahmat Efendi masih menjabat. Katanya harus bikin janji dulu. Ya sudah, akhirnya saya pulang. Merasa udah enggak ada yang bantu. Lemah kemauan saya sekarang,” ucapnya.
Hidup Latif berubah sejak hari itu. Ia kerap berjalan kaki tanpa tujuan. Bahkan, ia kerap mengenakan sandal jepit dan berjalan tanpa sadar ke luar kota, terkadang hingga Cianjur dan Cibuntu.
Baca Juga: TransJabodetabek Rute Bekasi-Dukuh Atas Jakpus Resmi Dibuka, Tarif Cuma Rp3.500
“Rasa kehilangan itu besar banget. Arah pikiran saya sudah ke mana-mana,” tuturnya.
Meski keluarga memintanya berikhlas, batinnya terus bergejolak. Ia masih berharap ada keadilan untuk anaknya.
“Kalau polisi sungguh-sungguh, harusnya mereka yang panggil kami, bukan kami yang mengejar-ngejar. Saya cuma ingin anak saya dapat keadilan. Itu saja,” ujar Latif dengan suara serak. (CR-3)