“baik buruknya karakter/perilaku anak di masa datang sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang diberikan oleh keluarganya dan lingkungan sosial terdekatnya.,,”
-Harmoko-
---
Pahami dan kenali lebih dalam lagi tentang kehidupan anak – anak kita, itulah pesan semangat global yang tengah digelorakan dunia hari ini melalui peringatan Hari Anak Sedunia bertajuk ”My Day My Right” – Hariku , Hakku.
Dengan mendengar, melibatkan dan melindungi hak – hak anak, berarti kita sedang menanamkan masa depan yang lebih manusiawi bagi seluruh dunia, termasuk negeri kita.
Bukankah anak - anak adalah penentu masa depan bangsa, pewaris kepemimpinan bangsa. Indonesia di masa depan adalah milik anak-anak saat ini. Anak adalah masa depan yang harus dijaga hari ini. Menyiapkan anak masa depan, harus dimulai hari ini, kalau tidak, kapan lagi?
Baca Juga: Kopi Pagi: Toleransi Membangun Harmoni
Itulah perlunya semua pihak kian mendalami realitas hidup anak saat ini, terhadap hak - hak mereka, baik yang sudah terpenuhi maupun sedang diperjuangkan.
Lantas bagaimana realitas hidup anak negeri kita saat ini? Jawabnya akan beragam, tetapi jutaan anak Indonesia masih hidup dalam ketidakpastian, data menyebutkan demikian. Masih mengalami kekerasan, stunting, tidak mendapatkan pendidikan berkualitas, minimnya perlindungan sosial, itu kondisi yang sulit terbantahkan.
Data UNICEF dan Kementerian Kesehatan RI menyebutkan angka stunting di Indonesia masih tergolong tinggi dengan prevalensi di atas 20% pada beberapa provinsi. Artinya satu dari lima anak mengalami gangguan pertumbuhan karena kekurangan gizi kronis.
Belum lagi imunisasi dasar yang belum tuntas, keterbatasan akses terhadap sanitasi dan air bersih di berbagai pelosok negeri.
Kekerasan terhadap anak masih kita jumpai, terdapat 15.615 kasus
hingga Juli 2025, yang 6.999 di antaranya kekerasan seksual , terutama pada anak usia 13-17 tahun.
Baca Juga: Kopi Pagi: Sehat Mental dan Sosial
Data lain menyebutkan terdapat 3,9 juta anak yang tidak mengenyam pendidikan lanjutan dengan kendala ekonomi dan pernikahan dini menjadi penyebab utamanya.Tercatat juga 1,3 juta anak dari keluarga miskin tidak sekolah.
Jumlah pekerja anak juga cenderung meningkat. Pada tahun 2024, terdapat 1,27 juta anak menjadi pekerja, sebagian besar berada di pedesaan.
Masalah lain, soal kesehatan mental akibat bullying dan perundungan yang acap terjadi di dunia nyata hingga melalui platform digital.
Kementerian Komdigi mencatat bahwa 48 persen anak – anak yang pernah mengakses internet mengaku mengalami perundungan digital, sebagian besar terjadi di ranah privat seperti ruang percakapan pribadi atau grup pertemanan sehingga menjadi tantangan tersendiri dalam pendeteksian dan penangananya.
Paparan data tadi bukan sebatas angka statistik, tetapi gambaran nyata masih banyak anak negeri kita yang belum mendapatkan hak – hak dasarnya untuk hidup sehat dan tumbuh optimal.
Ini juga memberikan pesan bahwa menciptakan kondisi (dunia) ramah anak masih harus terus diupayakan. Di antaranya dengan memberi perlindungan terhadap anak melalui tindakan nyata, terukur dan berkesinambungan. Bukan hanya retorika, slogan penuh pesona, selesai pada tataran kebijakan semata, tanpa aksi lanjutan.
Besar harapan dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini sudah menyasar 40 juta penerima manfaat, secara bertahap akan menurunkan prevalensi stunting. Begitu juga dengan program kesehatan dan pendidikan yang diarahkan memenuhi asas manfaat, keadilan dan pemerataan, kian dapat menyiapkan generasi sehat, cerdas dan berkualitas menuju visi Indonesia Emas.
Di sisi lain patut menjadi renungan, dalam konteks memberikan perlindungan terhadap anak sebagaimana diharapkan, tak selamanya datang dari atas, tetapi dari anak – anak itu sendiri, perlu merunduk menyelami kehidupan mereka.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menjaga Warisan Budaya
Masyarakat perlu memberi ruang agar anak bisa bercerita tentang apa yang mereka rasakan. Mendengarkan pengalaman anak langsung dari sudut pandang mereka. Suara mereka, derita mereka menjadi pintu masuk memetakan masalah sekaligus menemukan solusi bersama, bagaimana sebaiknya perlindungan dilakukan, pendampingan diberikan serta kebutuhan mendasar yang perlu disegerakan.
Para orang tua wajib memberikan dukungan emosional (kasih sayang dan perhatian), akademis (fasilitas dan tempat pendidikan yang nyaman) maupun dukungan sosial (nilai – nilai toleransi, simpati, empati, gotong- royong dan tanggung jawab sosial) guna membentuk karakter anak negeri yang bermental tangguh, berintegritas, beretika dan bermoral.
Terlebih di era digital sekarang ini, pendampingan orang tua kian dibutuhkan, agar kelak tidak salah arah dan kaprah, tidak pula sekadar pengguna, tetapi lahir sebagai pencipta teknologi.
Satu hal yang tak boleh dilupakan adalah kecenderungan anak yang suka mencontoh berbagai kebiasaan dan perilaku orang tuanya, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Dalam pepatah bahasa Jawa: Kacang ora ninggal lanjaran- sifat atau perilaku anak biasanya tidak jauh dari kebiasaan yang dilakukan orang tuanya.
Dapat dimaknai, baik buruknya karakter/perilaku anak di masa datang sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang diberikan oleh keluarganya dan lingkungan sosial terdekatnya.
Mari kita berikan pola pengasuhan yang terbaik, tiada henti memotivasi dan memacu anak- anaknya untuk maju dan berprestasi: menjadi generasi yang lebih baik dari para pendahulunya, yaitu kita semua sekarang ini. Setiap zaman memiliki tantangannya masing- masing, dan mereka akan menghadapi dengan bekal yang kita berikan. (Azisoko).
