Kekerasan terhadap anak masih kita jumpai, terdapat 15.615 kasus
hingga Juli 2025, yang 6.999 di antaranya kekerasan seksual , terutama pada anak usia 13-17 tahun.
Baca Juga: Kopi Pagi: Sehat Mental dan Sosial
Data lain menyebutkan terdapat 3,9 juta anak yang tidak mengenyam pendidikan lanjutan dengan kendala ekonomi dan pernikahan dini menjadi penyebab utamanya.Tercatat juga 1,3 juta anak dari keluarga miskin tidak sekolah.
Jumlah pekerja anak juga cenderung meningkat. Pada tahun 2024, terdapat 1,27 juta anak menjadi pekerja, sebagian besar berada di pedesaan.
Masalah lain, soal kesehatan mental akibat bullying dan perundungan yang acap terjadi di dunia nyata hingga melalui platform digital.
Kementerian Komdigi mencatat bahwa 48 persen anak – anak yang pernah mengakses internet mengaku mengalami perundungan digital, sebagian besar terjadi di ranah privat seperti ruang percakapan pribadi atau grup pertemanan sehingga menjadi tantangan tersendiri dalam pendeteksian dan penangananya.
Paparan data tadi bukan sebatas angka statistik, tetapi gambaran nyata masih banyak anak negeri kita yang belum mendapatkan hak – hak dasarnya untuk hidup sehat dan tumbuh optimal.
Ini juga memberikan pesan bahwa menciptakan kondisi (dunia) ramah anak masih harus terus diupayakan. Di antaranya dengan memberi perlindungan terhadap anak melalui tindakan nyata, terukur dan berkesinambungan. Bukan hanya retorika, slogan penuh pesona, selesai pada tataran kebijakan semata, tanpa aksi lanjutan.
Besar harapan dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini sudah menyasar 40 juta penerima manfaat, secara bertahap akan menurunkan prevalensi stunting. Begitu juga dengan program kesehatan dan pendidikan yang diarahkan memenuhi asas manfaat, keadilan dan pemerataan, kian dapat menyiapkan generasi sehat, cerdas dan berkualitas menuju visi Indonesia Emas.
Di sisi lain patut menjadi renungan, dalam konteks memberikan perlindungan terhadap anak sebagaimana diharapkan, tak selamanya datang dari atas, tetapi dari anak – anak itu sendiri, perlu merunduk menyelami kehidupan mereka.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menjaga Warisan Budaya
