“..banyak sikap dan perilaku kebaikan yang sudah dicontohkan para pendiri negeri, di antaranya tidak memaksakan kehendak, tidak melakukan pemerasan, tidak mengambil hak orang lain, tidak menang sendiri dan tidak semena – mena,”
-Harmoko-
--
Bicara sejarah berarti menyoal masa lalu, mengenai peristiwa yang benar – benar terjadi pada pada masa lampau. Belajar sejarah berarti pula mempelajari dan memahami sari pati kejadian masa lalu sebagai panduan kehidupan masa kini dan nanti.
Begitupun jika kita hendak menyoal gelar pahlawan berarti tak lepas dari jasa tokoh yang telah dilakukan bagi kemajuan bangsa dan negara pada masanya - di eranya.Terlebih, jika jasanya tak hanya menjadi tonggak sejarah perjuangan bangsa, tetapi hasil karyanya – peninggalannya, masih dapat kita nikmati hingga masa kini hingga generasi nanti.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menuju Swasembada Air
Apakah tokoh yang demikian memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional? Jawabnya kembali kepada penilaian masyarakat itu sendiri. Yang patut dicatat, pengakuan atas kebenaran sejarah merupakan langkah awal membangun masa depan yang lebih sehat secara politik maupun moral.
Menyoal gelar pahlawan ada yang melalui yuridis formal – keputusan pemerintah yang lazimnya ditetapkan jelang peringatan Hari Pahlawan.
Ada juga melalui legalitas moral dan sosial, adanya pengakuan publik atas jasanya dan perjuangannya yang telah dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Boleh jadi, tokoh yang bersangkutan tidak atau belum ditetapkan sebagai pahlawan nasional, tetapi publik merasakan betul bahwa jerih payahnya, perjuangannya, hasil karya masih terukir secara nyata. Publik mengakui karena perjuangannya, maka kita bisa seperti sekarang ini.
Jika merujuk kepada tokoh kepala negara, kepala pemerintahan, presiden, maka semua presiden telah berjasa membangun bangsa dan negara, sejak negeri ini berdiri hingga sekarang ini.
