“.. rela berkorban, membela kebenaran dan keadilan dengan dilandasi ketulusan dan kejujuran, termasuk menanggalkan ego pribadi untuk mengabdi, berkontribusi, memberi manfaat dan maslahat bagi umat, itulah karakter pejuang rakyat,”
-Harmoko-.
--
Dalam cerita pewayangan, seorang ksatria (kesatria ) tak hanya dituntut memiliki ketangguhan baik secara fisik maupun mental, juga mampu bersikap tanggap dan tanggon.
Tanggap berarti cepat merespon dan memperhatikan sungguh-sungguh pada suatu keadaan. Cepat mengetahui gejala yang timbul serta segera mengambil tindakan tepat. Mampu mendengar dan mengerti apa yang didengar serta melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan dengan baik dan benar.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menjaga Warisan Budaya
Ksatria yang tanggap berarti paham atas isyarat raja. Meski tidak dikatakan terus terang, namun mengerti dan memahami apa yang menjadi kehendak pemimpinnya. Itulah yang disebut " tanggap ing sasmita".
Seorang ksatria juga harus tanggon - dapat diandalkan.
Seseorang bisa saja tangguh, tetapi kalau tidak dapat diandalkan menjadi percuma. Begitu pun seseorang tangguh dan tanggon, tetapi jika tidak tanggap, maka pelaksanaan tugas menjadi terhambat. Boleh jadi salah persepsi karena kurang bisa menangkap isyarat, sinyal atau tanda – tanda sehingga salah arah dan tidak sasaran dalam mengambil kebijakan.
Bermaksud mengambil peran dengan menggulirkan kebijakan untuk kepentingan negara, tetapi yang terjadi sebaliknya, rakyat malah dikorbankan.
Itulah mengapa sebabnya seorang ksatria harus tanggap, tangguh dan tanggon.
