Laporan KPK Catat Harta Wahyudin Moridu Minus Meski Berasal dari Keluarga Elit Politik

Senin 22 Sep 2025, 07:38 WIB
Wahyudin Moridu, anggota DPRD Gorontalo yang dipecat PDIP, melaporkan harta kekayaan minus Rp 2 juta ke KPK.

Wahyudin Moridu, anggota DPRD Gorontalo yang dipecat PDIP, melaporkan harta kekayaan minus Rp 2 juta ke KPK.

POSKOTA.CO.ID - Dunia politik daerah di Indonesia kerap diwarnai dengan kisah unik, tak jarang juga penuh kontroversi. Salah satunya datang dari Gorontalo, ketika nama Wahyudin Moridu mencuat bukan hanya karena kiprahnya sebagai politisi muda, melainkan juga karena laporan harta kekayaannya yang terbilang janggal.

Pada 26 Maret 2025, ia melaporkan total harta kekayaan minus Rp 2 juta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui laman resmi e-LHKPN.

Fakta ini sontak mengundang perhatian publik, terlebih karena Wahyudin berasal dari keluarga politikus berpengaruh di Gorontalo.

Baca Juga: Ganjil Genap Jakarta Hari Ini Jam Berapa? Cek Jadwal dan Lokasi Rekayasa Lalu Lintas 22 September 2025

Profil Singkat Wahyudin Moridu

Wahyudin Moridu bukan sosok asing di Gorontalo. Ia lahir dari keluarga politisi yang cukup dikenal, terutama sang ayah, Darwis Moridu, mantan Bupati Boalemo.

Karier politik Wahyudin terbilang cepat. Pada usia 24 tahun, ia sudah menjabat sebagai anggota DPRD Kabupaten Boalemo periode 2019–2024. Ia terpilih dari Daerah Pemilihan (Dapil) Tilamuta, Botumoito, dan Mananggu.

Tak berhenti di situ, Wahyudin kemudian meniti karier ke tingkat provinsi sebagai anggota DPRD Gorontalo, bahkan sempat menjabat sebagai Sekretaris Fraksi PDIP. Namun, perjalanan politiknya tidak mulus, sebab ia harus menghadapi pemecatan dari partai dan menunggu proses Pergantian Antar Waktu (PAW).

Laporan Harta Kekayaan Minus Rp 2 Juta

Salah satu momen paling mengejutkan dalam karier politik Wahyudin adalah ketika ia menyampaikan laporan harta kekayaannya ke KPK. Berdasarkan data e-LHKPN, berikut rinciannya:

  • Aset tanah dan bangunan: 2.000 m² / 72 m² di Boalemo, status warisan, senilai Rp 180 juta.
  • Kas dan setara kas: Rp 18 juta.
  • Utang: Rp 200 juta.

Dengan demikian, total harta yang ia laporkan tercatat minus Rp 2 juta.

Fenomena laporan harta minus ini cukup jarang terjadi di kalangan pejabat publik. Biasanya, pejabat melaporkan kekayaan dalam jumlah signifikan. Kasus ini pun memantik perbincangan di kalangan masyarakat, pakar politik, hingga pegiat antikorupsi.

Dinasti Politik Keluarga Moridu

Tak dapat dipungkiri, perjalanan politik Wahyudin banyak dipengaruhi oleh ayahnya, Darwis Moridu.

Darwis adalah politisi PDIP yang pernah menjabat sebagai Bupati Boalemo. Namun, kariernya terhenti setelah dipecat Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada tahun 2020. Pemecatan ini terkait kasus penganiayaan berat yang menyebabkan kematian seseorang bernama Awi Idrus.

Darwis divonis 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Gorontalo. Pemecatan resminya tertuang dalam Surat Keputusan Mendagri Nomor 131.75-3846 yang diserahkan Wakil Gubernur Gorontalo saat itu, Idris Rahim, kepada Wakil Bupati Boalemo, Anas Jusuf.

Selain itu, Darwis juga pernah menghadapi kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan usaha tani tahun 2019. Namun, pada Mei 2025, ia divonis bebas.

Jabatan Politik di Usia Muda

Wahyudin kerap mendapat sorotan karena menjadi salah satu anggota DPRD termuda di Gorontalo. Saat pertama kali dilantik pada 26 Agustus 2019, ia baru berusia 24 tahun.

Karier politik muda ini sering dianggap sebagai simbol regenerasi politik daerah. Namun, di sisi lain, publik juga mengaitkan keberhasilannya dengan pengaruh besar keluarga Moridu yang memang sudah lama berkecimpung di dunia politik lokal.

Pemecatan dari PDIP dan Proses PAW

Meski awalnya meniti karier cukup cemerlang, jalan politik Wahyudin mengalami hambatan serius. Ia resmi dipecat oleh PDIP, partai yang telah membesarkan namanya. Pemecatan ini membuat posisinya di DPRD Gorontalo terancam, dan ia harus menunggu proses Pergantian Antar Waktu (PAW).

Pemberhentian Wahyudin oleh partai disinyalir tidak hanya terkait dinamika internal, tetapi juga karena sejumlah persoalan pribadi yang sempat menjadi sorotan publik. Bahkan, beberapa kali ia muncul di media sosial bersama istrinya, mengungkap kondisi keuangan keluarga yang sedang sulit.

Reputasi Politik yang Dipertanyakan

Dengan laporan harta kekayaan minus dan pemecatan dari partai, reputasi politik Wahyudin kini berada dalam sorotan tajam. Publik menilai, kasus ini mencerminkan bagaimana politik lokal sering kali dipengaruhi oleh kekuatan keluarga, tetapi tidak selalu menjamin keberlanjutan karier.

Sebagai anak sulung pasangan Darwis Moridu dan Rensi Makuta—yang juga anggota DPRD Boalemo dari PDIP—Wahyudin jelas memiliki basis politik kuat. Namun, tantangan terbesar justru datang dari akuntabilitas dan transparansi yang menjadi tuntutan publik terhadap para wakil rakyat.

Fenomena Pejabat dengan Harta Minus

Laporan harta minus pejabat publik sebenarnya bukan hal yang mustahil. Beberapa faktor yang bisa menyebabkan hal ini antara lain:

  1. Utang pribadi lebih besar dari aset
    – Misalnya pinjaman untuk modal usaha, pembelian properti, atau kebutuhan politik saat pencalonan.
  2. Aset belum tercatat resmi
    – Beberapa aset mungkin belum diakui secara hukum sehingga tidak bisa dimasukkan dalam laporan.
  3. Kesulitan finansial riil
    – Kondisi pribadi yang benar-benar menghadapi keterbatasan keuangan, meski menjabat sebagai pejabat publik.

Namun, kasus Wahyudin tetap dianggap unik karena ia berasal dari keluarga politik ternama. Publik pun mempertanyakan bagaimana seorang politisi bisa sampai melaporkan harta negatif.

Baca Juga: Link Resmi Cek Penerima BSU BPJS Ketenagakerjaan 2025, Apakah Nama Kamu Masuk Daftar?

Masyarakat menilai, laporan harta minus bisa menjadi bentuk kejujuran, asalkan benar-benar sesuai dengan kondisi nyata. Namun, ada pula yang skeptis dan menganggap hal ini sebagai strategi untuk menutupi potensi kepemilikan aset tidak tercatat.

Kisah Wahyudin Moridu adalah cermin kompleksitas politik lokal Indonesia. Ia datang dari keluarga terpandang, meniti karier politik sejak usia muda, namun harus menghadapi kenyataan pahit berupa pemecatan partai, proses PAW, hingga laporan harta minus ke KPK.

Kasus ini sekaligus membuka ruang diskusi lebih luas tentang transparansi pejabat publik, dinamika dinasti politik daerah, serta tantangan regenerasi dalam politik Indonesia.

Apakah Wahyudin masih punya ruang untuk kembali bangkit di dunia politik? Hanya waktu yang bisa menjawab, namun yang pasti publik akan terus mengawasi.


Berita Terkait


News Update