Sebaliknya, anak muda kini lebih memilih investasi seperti saham, kripto, hingga reksa dana sebagai prioritas keuangan.
Perkembangan ekonomi digital atau gig economy juga mengubah kebutuhan akan hunian. Banyak pekerja kini bekerja dari rumah, menjadikan kebutuhan akan ruang yang fleksibel dan strategis menjadi lebih penting dibanding sekadar jumlah kamar.
"Hari ini jumlah anggota keluarga semakin sedikit. Rumah tidak lagi dibeli berdasarkan jumlah kamar, tetapi pada fungsi dan efisiensi. Muncul model rumah studio, bahkan di atas mal," jelas Rhenald Kasali.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tunjuk Pramudya Iriawan Buntoro Sebagai Dirut Baru BPJS Ketenagakerjaan
Tren ini juga berdampak pada sektor perkantoran. Di Jakarta, lebih dari 3,1 juta meter persegi ruang kantor tercatat kosong, dan perusahaan mulai merelokasi fasilitas ke daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Rhenald Kasali menyoroti bagaimana program rumah rakyat di berbagai negara juga gagal memenuhi tujuannya. Di Inggris, program Right to Buy pada era Margaret Thatcher justru menguntungkan investor, bukan rakyat. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat melalui skandal subprime mortgage tahun 2008, yang mengakibatkan kehancuran sektor keuangan global.
Kasus serupa terjadi di China dengan krisis Evergrande dan di Thailand dengan janji politik populis yang gagal. Kasali memperingatkan agar Indonesia tidak mengulangi kesalahan serupa.
Rhenald Kasali mengkritik pendekatan pemerintah yang terlalu fokus pada sisi produksi tanpa mempertimbangkan apakah produk itu dibutuhkan dan digunakan oleh masyarakat.
"Persoalannya adalah apakah akan ada yang membeli, tepat sasaran, lalu masyarakat ingin menempatinya, lalu bisa mendapatkan kehidupan dari tempat itu?" tanyanya retoris.
Dampak dari pendekatan sepihak ini mulai terlihat. Kredit macet sektor perumahan naik dari 1,6 persen pada 2023 menjadi 3,4 persen pada 2024. Ini menunjukkan risiko sistemik bagi sektor keuangan nasional.