POSKOTA.CO.ID – Pemerintah Indonesia terus melanjutkan pembangunan rumah subsidi dalam jumlah besar, meski data menunjukkan bahwa mayoritas hunian tersebut tidak dihuni.
Akademisi dan praktisi Prof. Rhenald Kasali, Ph.D. mengungkapkan keprihatinan atas pendekatan pembangunan yang dinilai hanya berorientasi pada sisi penyediaan (supply side), tanpa memperhatikan permintaan dan perubahan kebutuhan masyarakat.
"Di pemerintahan yang lalu, Kementerian PUPR bersama dengan BPK menemukan 60 sampai 80 persen kawasan rumah bersubsidi kosong. Lalu kita menyaksikan berita pada hari ini, pemerintah tetap asik dan bersemangat untuk membangun rumah bersubsidi," ujar Rhenald Kasali, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube miliknya pada Selasa, 15 Juli 2025.
Pemerintah sempat mempertimbangkan pembangunan rumah berukuran lebih kecil, namun rencana itu dibatalkan setelah menuai kritik keras. Kini, pembangunan rumah subsidi kembali digencarkan, namun tidak disertai dengan evaluasi menyeluruh terhadap daya serap pasar dan kebutuhan masyarakat perkotaan.
Baca Juga: Tinjau Uji Coba Sekolah Rakyat di Bekasi, Mensos: Ini Program Prioritas Presiden Prabowo
Banyak rumah subsidi dibangun di lokasi yang jauh dari pusat aktivitas ekonomi. Menurut Rhenald Kasali, hal ini berdampak pada menurunnya produktivitas dan meningkatnya kelelahan pekerja.
"Jaraknya memang sangat meletihkan, membutuhkan waktu sekitar 2 jam untuk sampai ke tempat bekerja. Tidak mengherankan sekarang mereka memilih untuk tinggal di rumah sewa," jelasnya.
Berbagai studi menunjukkan bahwa generasi muda semakin enggan membeli rumah, terutama karena harga yang tinggi dan lokasi yang tidak strategis. Sekitar 49 persen agensi memilih tidak membeli rumah, sementara 70 persen generasi senior lebih memilih tinggal di rumah sewa.
Generasi muda menilai pembelian rumah sebagai beban finansial jangka panjang. Fenomena house poor, istilah untuk kondisi di mana seseorang memiliki rumah namun tidak memiliki ruang finansial untuk kebutuhan lain, menjadi perhatian serius.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tunjuk Gibran Tangani Papua, Diminta Berkantor di Sana
"Orang tua tidak bisa menikmati hidup, tidak bisa nonton konser, tidak bisa melakukan perjalanan, hanya membesarkan rumah... Lalu kemudian harus menjual rumah ketika biaya kesehatan tinggi dan harga rumah jatuh di pasar sekunder," tutur Rhenald Kasali.
Sebaliknya, anak muda kini lebih memilih investasi seperti saham, kripto, hingga reksa dana sebagai prioritas keuangan.
Perkembangan ekonomi digital atau gig economy juga mengubah kebutuhan akan hunian. Banyak pekerja kini bekerja dari rumah, menjadikan kebutuhan akan ruang yang fleksibel dan strategis menjadi lebih penting dibanding sekadar jumlah kamar.
"Hari ini jumlah anggota keluarga semakin sedikit. Rumah tidak lagi dibeli berdasarkan jumlah kamar, tetapi pada fungsi dan efisiensi. Muncul model rumah studio, bahkan di atas mal," jelas Rhenald Kasali.
Baca Juga: Presiden Prabowo Tunjuk Pramudya Iriawan Buntoro Sebagai Dirut Baru BPJS Ketenagakerjaan
Tren ini juga berdampak pada sektor perkantoran. Di Jakarta, lebih dari 3,1 juta meter persegi ruang kantor tercatat kosong, dan perusahaan mulai merelokasi fasilitas ke daerah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Rhenald Kasali menyoroti bagaimana program rumah rakyat di berbagai negara juga gagal memenuhi tujuannya. Di Inggris, program Right to Buy pada era Margaret Thatcher justru menguntungkan investor, bukan rakyat. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat melalui skandal subprime mortgage tahun 2008, yang mengakibatkan kehancuran sektor keuangan global.
Kasus serupa terjadi di China dengan krisis Evergrande dan di Thailand dengan janji politik populis yang gagal. Kasali memperingatkan agar Indonesia tidak mengulangi kesalahan serupa.
Rhenald Kasali mengkritik pendekatan pemerintah yang terlalu fokus pada sisi produksi tanpa mempertimbangkan apakah produk itu dibutuhkan dan digunakan oleh masyarakat.
"Persoalannya adalah apakah akan ada yang membeli, tepat sasaran, lalu masyarakat ingin menempatinya, lalu bisa mendapatkan kehidupan dari tempat itu?" tanyanya retoris.
Dampak dari pendekatan sepihak ini mulai terlihat. Kredit macet sektor perumahan naik dari 1,6 persen pada 2023 menjadi 3,4 persen pada 2024. Ini menunjukkan risiko sistemik bagi sektor keuangan nasional.