POSKOTA.CO.ID - Lee Si Young kembali menjadi pusat perhatian publik setelah secara terbuka mengungkapkan kehamilan keduanya yang dilakukan melalui prosedur in vitro fertilization (IVF).
Pernyataan ini disampaikan oleh Lee Si Young dalam wawancara dengan media, termasuk Asian Junkie, yang kemudian ramai diperbincangkan baik oleh penggemar maupun pengamat sosial.
Yang membuat pengakuan ini menjadi sorotan bukan hanya karena status Lee sebagai figur publik, tetapi juga karena ia secara terang-terangan mengakui bahwa proses IVF tersebut dilakukan tanpa persetujuan mantan suaminya. Pernyataan ini secara otomatis memantik perdebatan etis dan legal yang lebih luas.
“Saya ingin memiliki anak lagi, dan saya memilih IVF sebagai jalan terbaik,” ujar Lee Si Young dengan nada penuh keyakinan.
Bagi sebagian pihak, langkah ini dianggap sebagai perwujudan kemandirian perempuan dalam menentukan nasib reproduksi dan masa depannya sendiri. Namun, bagi yang lain, keputusan Lee dinilai kontroversial, bahkan memunculkan pertanyaan mendasar mengenai hak-hak pihak lain yang terlibat secara biologis.
IVF dan Fenomena Ibu Tunggal di Korea Selatan
In vitro fertilization atau fertilisasi in vitro adalah salah satu metode reproduksi berbantu yang semakin umum di Korea Selatan. Dalam beberapa tahun terakhir, statistik menunjukkan peningkatan signifikan jumlah perempuan yang memilih menjadi ibu tunggal melalui prosedur ini.
Tren ini tidak dapat dilepaskan dari sejumlah faktor sosial, di antaranya:
- Tingkat pernikahan yang menurun.
- Usia menikah pertama yang semakin mundur.
- Semakin kuatnya aspirasi perempuan untuk mandiri secara finansial dan emosional.
- Stigma yang perlahan mulai luntur terhadap status ibu tunggal.
Media Korea seperti Chosunbiz dan 메일경제 mencatat bahwa generasi perempuan profesional di Korea Selatan semakin vokal memperjuangkan hak reproduksi mereka, meskipun harus menghadapi tantangan hukum dan tekanan sosial.
Kontroversi Etis dan Implikasi Hukum
Pernyataan Lee Si Young tentang tidak dilibatkannya mantan suami dalam proses IVF menjadi salah satu poin yang paling banyak dikritik. Pakar hukum keluarga di Korea Selatan menyoroti sejumlah pertanyaan yang muncul:
- Apakah prosedur reproduksi berbantu yang melibatkan embrio yang secara genetik terkait dengan mantan pasangan memerlukan persetujuan tertulis?
- Bagaimana status hak asuh anak yang lahir dari proses IVF tanpa kesepakatan bersama?
- Siapa yang memegang tanggung jawab finansial untuk membesarkan anak tersebut di masa depan?
Dalam perspektif etis, sebagian kalangan memandang keputusan ini berpotensi mereduksi prinsip kesepakatan bersama dalam membangun keluarga. Namun, di sisi lain, ada pula argumen bahwa hak reproduksi seorang perempuan adalah bagian dari hak asasi yang tak dapat dicabut, terutama jika ia memiliki kemandirian penuh untuk membesarkan anak tersebut.