“Kita ingin membangun tahun politik yang sehat dan bermartabat, menjual ide dan beradu gagasan, bukan sebatas tebar janji dan menjual mimpi yang dapat membuat masyarakat antipati..”, kata Harmoko.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah, dinilai oleh banyak pihak, untuk menjawab kian rumitnya gelaran pemilu secara serentak.
Pelaksanaan pemilu serentak dengan jeda waktu tidak sampai tahun, seperti pilpres dengan pilkada lalu, berdampak kepada, di antaranya menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat.
Penyebabnya karena adanya kelelahan demokrasi, kelelahan pemilih, ada juga yang menyebutnya sebagai kelelahan politik.
Baca Juga: Kopi Pagi: Adil untuk Semua
Cukup beralasan , mengingat kedua gelaran pemilu serentak itu dilakukan sangat berdekatan, pilpres yang digelar 14 Februari 2024, sedangkan pilkada 27 November 2024.
Intensitas pemilu yang terlalu tinggi dalam kurun waktu singkat, dapat menyebabkan kelelahan pemilih, sering disebut voter fatigue . Fenomena ini terjadi ketika masyarakat terbebani dengan intensitas pemilu yang terlalu sering dan rumit.
Bagaimana tidak? pemilih dihadapkan pada kertas suara yang panjang dan melibatkan banyak kandidat dari berbagai tingkat pemerintahan.
Akibatnya pemilih menghadapi beban kognitif yang berat dalam membuat keputusan secara bersamaan. Mencoblos caleg pusat, daerah provinsi dan kabupaten/kota. Selain, paslon capres- cawapres.
Semakin banyak keputusan yang harus dibuat oleh pemilih dalam surat suara, dalam waktu yang singkat dan bersamaan, akan semakin besar kemungkinan mereka tidak menggunakan hak pilih secara penuh (undervote).
Lebih berdampak lagi, jika sampai menurunkan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilu berikutnya akibat kelelahan pemilih seperti yang terjadi pada pilkada serentak tahun lalu.