“Menyerap aspirasi masyarakat, memperjuangkan hingga mencarikan solusinya melalui aksi nyata adalah pejabat harapan rakyat. Pejabat akan dipercaya rakyat jika mampu memenuhi janjinya kepada rakyat, bukan mengingkarinya,”
-Harmoko-
--
Pada 27 November setahun lalu digelar pilkada serentak di 545 daerah seluruh Indonesia untuk memilih pasangan calon kepala daerah. Hasilnya sudah kita saksikan bersama, telah terpilih 37 gubernur dan wakilnya, 415 bupati dan wakilnya serta 93 wali kota dan wakilnya.
Pilkada serentak setahun telah berlalu dengan meninggalkan sejumlah catatan sebagai fakta sejarah perjalanan pesta demokrasi lima tahun sekali di negeri ini.
Baca Juga: Kopi Pagi: Mengajar dengan Cinta
Sebanyak 24 daerah diwajibkan menggelar pemungutan suara ulang (PSU) untuk kembali memilih satu pasangan gubernur dan wakil gubernur, 20 pemilihan bupati dan wakil bupati serta 3 pemilihan wali kota dan wakil wali kota, adalah fakta adanya kecurangan. Mulai dari dugaan keberpihakan birokrat, cawe – cawe pejabat publik, penyalahgunaan fasilitas negara untuk kampanye hingga politik uang.
Bahkan, ada satu daerah yang harus menggelar PSU dua kali dan Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskualifikasi kedua pasangan calon kepala daerah dimaksud karena keterlibatan politik uang.
Keterlibatan birokrat dan pejabat publik, dominasi oligarki dan kian maraknya politik uang menjadi catatan buruk bagi gelaran pilkada tahun lalu yang memerlukan perbaikan serius pada pilkada mendatang.
Politik berbiaya tinggi yang masih juga terjadi acap mendorong kepala daerah terpilih berupaya mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam perhelatan pilkada.
Tertangkapnya tiga kepala daerah (1 gubernur dan 2 bupati) sebelum sembilan menjabat atas dugaan suap, pemerasan hingga jual beli jabatan, kian memberi indikasi bahwa politik berbiaya tinggi menjerat pejabat publik melakukan tindakan koruptif.
