Ini yang harus dicegah dengan memperbaiki sistemnya, sistem pilkada. Jika tidak, problemnya tidak akan hilang, diprediksi rantai korupsi akan terus terjadi di pemerintah daerah.
Perbaikan sistem harus dibarengi dengan penegakan hukum yang tegas dan pengawasan lebih intensif baik secara internal maupun eksternal. Perlu mereformasi kelembagaan agar fungsi pengawasan berjalan efektif dengan memberi posisi yang lebih independen kepada inspektorat daerah, sementara DPRD harus memiliki mekanisme lebih transparan untuk mencegah konflik kepentingan, bukan membuka peluang munculnya kepentingan sekelompok elite.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menyiapkan Anak Masa Depan
Dengan mekanisme semacam itu, dapat mencegah lahirnya pejabat yang terjebak pada politik balas budi.
Jika masih ada pejabat publik yang ditangkap karena korupsi mengindikasikan problem politik berbiaya tinggi saat pilkada belum terdapat solusi.
Kita paham, dua sumber utama tingginya biaya politik saat pilkada adalah pembelian suara (vote buying) dan pembelian dukungan politik (candidacy buying). Belum lagi biaya lainnya yang tak terduga dan tersembunyi.
Solusi terkait dua hal ni hendaknya terinci dalam revisi undang – undang pemilu – pilkada mendatang.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK ) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan lokal pada tahun 2029, menjadi pintu masuk merevisi undang – undang pilkada yang lebih demokratis dan berintegritas.
Ada perbaikan tata kelola pemilu agar tidak lagi dibayangi dominasi oligarki dan politik berbiaya tinggi yang selama ini terjadi. Perlu rekonstruksi sistem pemilu dan variable teknisnya untuk menuju pilkada tanpa segala macam transaksi, baik politik, uang, jabatan maupun kekuasaan.
Satu catatan, sistem proporsional daftar terbuka yang selama ini digunakan dinilai gagal menghapus, setidaknya menekan politik uang. Selain, belum optimal menghadirkan representasi berkualitas dalam pelaksanaan pemilu.
Cukup banyak penelitian dan pengalaman empiris menunjukkan bahwa sistem yang berlaku sekarang membuka ruang hadirnya politik transaksional, dominasi oligarki dan mengurangi akuntabilitas wakil rakyat terhadap konstituennya.
Lantas bagaimana sistem pilkada mendatang? Jawabnya bisa beragam, tetapi belakangan ini memunculkan sejumlah skenario. Pertama, mempertahankan sistem pilkada langsung seperti yang dilakukan selama ini. Kedua, gubernur dipilih oleh DPRD, sedangkan bupati dan wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Ketiga, semua kepala daerah, baik gubernur, bupati dan wali kota tidak dipilih langsung, tetapi oleh DPRD.
