“Negara wajib hadir mengatasi kesenjangan sosial dengan melakukan perubahan radikal melalui kebijakan yang prorakyat. Jurang kesenjangan yang tak kunjung teratasi, dapat menimbulkan kecemburuan sosial, frustrasi sosial hingga disintegrasi sosial. Abai atasi kesenjangan, maka kemiskinan yang akan menjadi tontonan.”
-Harmoko-
---
Dulu, lumbung tak sebatas tempat penyimpanan hasil bumi seperti padi sebagai cadangan pangan, tetapi simbol kemakmuran, keberlanjutan hidup serta ketahanan pangan – isu yang kini menjadi perhatian negeri kita dan dunia pada umumnya.
Lumbung juga simbol kearifan lokal, identitas budaya, filosofi hidup menjaga keharmonisan manusia dan alam serta warisan budaya yang menyimpan nilai gotong – royong dan kebersamaan serta kedaulatan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Setahun Pemerintahan Prabowo
Dulu, lumbung layaknya rumah panggung yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu, hampir terdapat di setiap desa, pedukuhan dan kelompok masyarakat adat.
Tak hanya di Pulau Jawa, juga tersebar di wilayah penghasil pertanian negeri ini seperti Bali, Sulawesi, Sumatera, NTB dan masih banyak daerah lainnya dengan nama yang berbeda – beda, tapi fungsinya sama menyimpan padi dalam jangka waktu cukup lama hingga puluhan tahun.
Kini, lumbung padi sebagai simbol kemakmuran bersama tinggal kenangan, seiring dengan hadirnya gudang penyimpanan beras berteknologi canggih.
Lumbung sudah ditinggalkan penduduk, kecuali pada masyarakat Baduy, Banten, dan petani di sejumlah daerah di Jawa Barat yang masih tetap bertahan dengan lumbung padi yang disebut leuit. Bahkan, beberapa desa wisata di Jawa Barat mulai menjadikan leuit sebagai daya tarik edukasi bagi wisatawan.
Belakangan ini, lumbung padi kembali digelorakan. Presiden Prabowo Subianto optimis Indonesia mampu mewujudkan swasembada pangan sehingga pada saatnya menjadikannya sebagai lumbung padi, lumbung pangan dunia.