“Menguatkan ketangguhan mental dengan menggunakan semua energi untuk membangun pikiran yang positif: Tidak risau oleh keadaan sekitar. Tidak tergoda mengikuti jejak orang lain yang suka pamer kemegahan dan kemewahan. Menutup mata, telinga, pikiran dan hati, jika godaan datang. Yang salah adalah salah, yang benar adalah benar..”
-Harmoko-
Kita sering memandang kesehatan dari aspek fisik (badan) saja, padahal kesehatan mental (rohani), tidak kalah penting. Setidaknya kedua unsur utama tadi (fisik dan mental) - sering disebut "waras" perlu menjadi prioritas.
Itulah sebabnya, kesehatan hendaknya tidak dititik -beratkan pada “penyakit” tetapi pada kualitas hidup yang terdiri dari “kesejahteraan” dan “produktivitas sosial ekonomi”.
Seiring dengan itu hendaknya pula program kesehatan tak sebatas menyehatkan masyarakat yang terbebas dari segala macam penyakit, tetapi bagaimana menyehatkan mental masyarakatnya.
Ini sejalan dengan definisi kesehatan sebagaimana dimaksud Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 bahwa “Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis”.
Dunia pun telah menekankan bahwa kesejahteraan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Hari Kesehatan Jiwa Sedunia atau World Mental Health Day (WMHD) yang diperingati setiap tanggal 10 Oktober, sejak tahun 1992, sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran global akan pentingnya kesehatan mental bagi setiap individu.
Tahun 2025 ini mengambil tema: Access to Services – Mental Health in Catastrophes and Emergencies- Akses Layanan, Kesehatan Mental dalam Bencana dan Keadaan Darurat,
Tema ini menyoroti pentingnya menjaga kesehatan mental di tengah bencana, konflik, dan situasi darurat. Sekaligus memastikan orang yang berdampak bencana dan konflik dan keadaan darurat lainnya mendapat layanan kesehatan mental dan dukungan psikososial.
Tentu bencana dimaksud bisa bencana alam maupun sosial, baik banjir, tanah longsor yang rutin menimpa menerpa negeri kita. Soal konflik, bisa akibat perseteruan politik, konflik sosial dan horizontal. Begitu juga korban ketidakadilan penegakan hukum, penanganan aksi unjuk rasa dan segala bentuk aspirasi lainnya.
Kemarahan publik pada akhir Agustus lalu berikut dampaknya – sering disebut “Prahara Agustus” patut menjadi renungan kita bersama. Mengingat peristiwa tersebut tak sedikit menyisakan stres, trauma, rasa kehilangan dan kerusakan sosial yang dapat memicu gangguan mental, utamanya bagi para korban dan masyarakat terdampak.
Tak berlebihan jika kemudian melahirkan gelombang tuntutan rakyat adanya reformasi dalam kehidupan sosial politik di negeri kita.