Ferry juga menyebut teknologi algoritma ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, teknologi ini mampu mempercepat investigasi dan menjaga stabilitas publik.
Namun di sisi lain, salah penggunaan bisa menimbulkan dampak negatif, seperti penyalahgunaan data atau framing yang menyesatkan.
"Yang terpenting adalah kapasitas aparat dalam mengelola teknologi. Jika digunakan dengan tepat, analisis digital bisa menjadi instrumen penting untuk mencegah kericuhan berulang," ujarnya.
Baca Juga: Kejagung Tetapkan Nadiem Makarim Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Digitalisasi Pendidikan
Lebih lanjut, Ferry menilai pemerintah harus memperkuat sistem investigasi berbasis data agar mampu merespons dinamika di era digital.
Ia mengingatkan bahwa setiap aktivitas di media sosial meninggalkan jejak, sehingga pelacakan kini jauh lebih mudah dibandingkan dekade sebelumnya.
"Dulu pelacakan digital membutuhkan waktu panjang, sekarang prosesnya jauh lebih cepat dan efisien. It’s not rocket science," kata Ferry dengan tegas.
Dengan demikian, menurutnya negara tidak boleh lengah dalam memanfaatkan kemajuan teknologi. Apalagi penyebaran isu yang memicu kericuhan dapat berawal dari akun anonim yang sebenarnya mudah dilacak dengan perangkat yang memadai.
Pernyataan Ferry ini muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap dampak media sosial dalam memobilisasi massa. Kericuhan yang berawal dari isu tertentu kerap bereskalasi cepat karena informasi viral sulit dikendalikan.
Oleh karena itu, ia mengimbau agar seluruh pihak baik pemerintah, aparat keamanan, maupun masyarakat bisa lebih bijak dalam menyikapi informasi yang beredar.
Investigasi berbasis data, menurut Ferry, bukan hanya soal melacak dalang, tetapi juga menjaga kepercayaan publik terhadap demokrasi dan ketertiban umum.