Yang hendak kami sampaikan adalah politik balas budi itu sebagai panggilan moral pemerintah untuk menyejahterakan dan membahagiakan seluruh warganya, masyarakatnya.
Mengapa? Jawabnya karena setiap warga masyarakat, apa pun status dan kedudukannya, sekecil apa pun ikut berkontribusi membangun negara, tentu, sesuai dengan profesinya.
Maknanya kesejahteraan yang hendak dibagikan bukan perorangan atau sekelompok orang tertentu, tetapi untuk semua orang. Bukan hanya kepada warga yang telah berjasa karena mendukungnya dalam pemilu lalu, misalnya, tetapi kepada semua warga negara yang telah ikut menyukseskan pemilu, meski mendukung calon lain.
Kebijakan ini pula yang hendaknya dituangkan melalui politik etis sebagai balas budi kepada seluruh anak negeri. Tanpa terkecuali, tanpa pula beda perlakuan berdasarkan aspirasi dan dukungan politik tertentu.
Jika balas budi hanya diberikan kepada sekelompok orang dekatnya yang telah berjasa, sah - sah saja, sebagai balas budi pribadi.
Baca Juga: Kopi Pagi: Politik Mencerahkan, Bukan Melelahkan
Bukan politik balas budi seperti dimaksudkan tadi, lebih - lebih jika hadiah jabatan tanpa mempertimbankan kompetensi, akseptabilitas, kapabilitas dan elektabilitas yang bersangkutan.
Asal comot, yang penting ambisi balas budi pribadi terpenuhi.
Jika sudah demikian, pantaskah masih disebut politik etis? Jawabnya tentu akan beragam.
Bicara etis berarti tentang hal baik dan buruk, pantas dan tidak pantas selaras dengan norma sosial yang sudah berlaku dalam masyarakat.
Begitupun yang menguji politik etis dan tidak etis adalah publik. Boleh jadi terdapat beda tafsir, bagi pemberi hadiah jabatan, masih disebut etis, tetapi tidak demikian dengan publik.
Seperti halnya pengangkatan 30 wakil menteri menjadi komisaris BUMN yang bekangan menjadi perhatian publik.