“Kalau pun terjadi persoalan di kemudian hari terkait persepsi tentang negara dan ketatanegaraan serta berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara, hendaknya kita kembali ke konstitusi,” kata Harmoko.
Belakangan kita sering mendengar komentar agar segala sesuatunya dikembalikan kepada konstitusi. Tentu yang dimaksud konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan. Disebut undang - undang dasar negara.
Kembali kepada konstitusi acap disebut dalam pekan terakhir ini terkait dengan terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan daerah.
Dampak putusan ini, tidak semua pemilu dapat dilaksanakan serentak lima tahun sekali.
Baca Juga: Kopi Pagi: Politik Mencerahkan, Bukan Melelahkan
Ini dinilai bertentangan dengan konstitusi negara kita, UUD 1945, yang mengatur pemilu dilakukan setiap lima tahun sekali. Pemilu untuk memilih presiden, anggota DPR RI dan DPRD serta anggota DPD.
Dengan putusan MK, berpotensi pemilihan anggota DPRD mendatang tidak dapat dilakukan setiap lima tahun sekali berbarengan dengan pemilihan anggota DPR dan DPD.
Kalangan anggota dewan mulai menyuarakan agar persoalan pemilu ini dikembalikan kepada konstitusi negara.
Menyuarakan kembali kepada konstitusi menjadi momen penting dalam merumuskan segala peraturan terkait dengan paket UU politik dan ketatanegaraan.
Menjadi menarik karena bertepatan dengan hari bersejarah perjuangan bangsa Indonesia, yakni dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Ada tiga poin isi dekrit, satu di antaranya adalah berlakunya kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara yang berlaku hingga sekarang ini.