Yang menuai sorotan bukan soal boleh dan tidaknya pejabat negara menjadi komisaris di badan usaha milik negara, tetapi lebih kepada etika dan rangkap jabatan.
Selain, soal kompetensi dan kapabilitas dengan jabatan dimaksud guna menghindari kesan bagi -bagi kursi demi balas budi pribadi.
Balas budi tidaklah dilarang, bahkan ada pepatah mengatakan“ utang budi dibawa sampai mati” - maknanya anjuran agar kita selalu ingat atas jasa seseorang.
Yang perlu dicegah, dalam konteks membangun bangsa dan negara, jangan sampai jabatan balas budi melahirkan kebijakan balas budi, program bantuan pun menyasar balas budi, bukan mengutamakan kepentingan masyarakat, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom “Kopi Pagi” di media ini.
Baca Juga: Kopi Pagi: Kembali Kepada Konstitusi Negara
Kita tentu tak ingin mencuat kesan terbangunnya ego kelompok kekuasaan, terlebih jika tak selaras dengan aspirasi dan kepentingan publik.
Sebab apapun kepentingannya, yang namanya ego kelompok tidaklah elok, di tengah upaya terus merajut kerukunan dan persatuan guna menghadapi kian beragamnya tantangan.
Di tengah upaya pemerintah menyatukan kekuatan seluruh komponen masyarakat dalam membangun bangsa dan negara.
Pemerintah hendaknya kian memperbanyak dan memaksimalkan ruang – ruang partisipasi dalam menyelesaikan 'konflik' secara bersama – sama. Tujuannya, merobohkan dinding pemisah antara kelompok yang satu dengan lainnya, kadang dinarasikan kelompok pendukung dan kontra. (Azisoko)