POSKOTA.CO.ID - Nama Nur Afifah Balqis tiba-tiba menjadi buah bibir publik pada awal 2022. Bukan karena prestasi politik yang gemilang, melainkan karena ia disebut sebagai salah satu koruptor termuda yang pernah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berusia 24 tahun saat operasi tangkap tangan (OTT), ia mengundang keheranan sekaligus ironi di saat banyak anak muda di Indonesia berjuang membangun integritas dalam politik, Nur Afifah justru terperangkap dalam praktik suap.
Fenomena ini kembali viral belakangan, memicu perdebatan tentang moralitas generasi muda dalam politik, serta membangkitkan memori kolektif masyarakat atas kasus suap yang menyeret banyak pejabat dan pihak swasta.
Baca Juga: OPPO Reno14 Series Resmi Hadir di Indonesia, Desain Iridescent Mermaid Bikin Ponsel Ini Jadi Incaran
Profil Singkat Nur Afifah Balqis
Nur Afifah Balqis lahir pada 1997 dan berasal dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Usianya yang masih relatif muda tak menjadi penghalang baginya untuk berkiprah dalam dunia politik lokal. Ia sempat menjabat sebagai Bendahara Umum DPC Partai Demokrat Balikpapan. Jabatan strategis itu menjadikannya dekat dengan sejumlah tokoh partai, termasuk Abdul Gafur Mas’ud yang saat itu menjabat Ketua DPC Demokrat Balikpapan sekaligus Bupati Penajam Paser Utara (PPU).
Dalam rentang kariernya, Nur Afifah dikenal sebagai figur muda yang cukup aktif mengikuti agenda partai. Namun, kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan ternyata menjadi pintu masuk pada praktik korupsi yang berujung pada penangkapannya oleh KPK.
Perspektif unik manusia yang muncul di sini adalah: tidak sedikit orang yang menilai usia muda otomatis membawa idealisme. Kenyataannya, kekuasaan tetap memiliki daya tarik dan jebakan yang sama, apa pun umur pelakunya.
Kronologi Penangkapan yang Menggemparkan
Penangkapan Nur Afifah terjadi pada Rabu, 12 Januari 2022. Operasi tangkap tangan ini bermula dari informasi masyarakat yang melaporkan dugaan penerimaan uang oleh penyelenggara negara berkaitan dengan proyek dan izin usaha di Kabupaten Penajam Paser Utara. Berdasarkan informasi itu, tim KPK bergerak ke berbagai lokasi di Jakarta dan Kalimantan Timur.
Sehari sebelumnya, orang kepercayaan Abdul Gafur bernama Nis Puhadi melakukan pengumpulan uang dari kontraktor di Balikpapan. Jumlah yang dikumpulkan dalam bentuk tunai mencapai Rp950 juta. Uang itu kemudian dibawa ke Jakarta atas instruksi Abdul Gafur.
Setibanya di Jakarta, Nis Puhadi dijemput Rizky, orang kepercayaan Abdul Gafur, untuk menyerahkan uang di kediaman Abdul Gafur. Pada hari OTT, Abdul Gafur mengajak Nur Afifah dan Nis Puhadi menghadiri acara di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, Abdul Gafur meminta Nur Afifah menambah uang Rp50 juta dari rekening pribadinya, yang ternyata rekening penampungan hasil suap.
Setelah uang Rp1 miliar terkumpul dalam koper, ketiganya keluar dari lobi mal. Saat itulah tim KPK mengamankan mereka berikut barang bukti.
Bukti dan Penetapan Tersangka
Penangkapan itu tidak hanya menyasar Abdul Gafur dan Nur Afifah, tetapi juga sejumlah pejabat daerah lain, termasuk:
- Mulyadi (Plt Sekda PPU),
- Edi Hasmoro (Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang),
- Jusman (Kepala Bidang Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga),
- Achmad Zuhdi alias Yudi (pemberi suap).
Selain uang tunai Rp1 miliar, KPK juga menyita rekening bank Nur Afifah dengan saldo sekitar Rp447 juta dan beberapa barang belanjaan.
Pada Kamis, 13 Januari 2022, KPK menetapkan enam orang sebagai tersangka. Nur Afifah ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK Jakarta, kemudian dipindahkan ke Lapas Perempuan Tenggarong.
Vonis Pengadilan Tipikor
Perjalanan hukum Nur Afifah berlangsung relatif cepat. Pada sidang putusan 26 September 2022, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Samarinda memvonisnya 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan.
Hakim menyatakan ia terbukti aktif membantu Abdul Gafur menerima suap dari kontraktor.
Siapa Koruptor Termuda di Indonesia?
Meski banyak media menyebut Nur Afifah sebagai koruptor termuda, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat Rici Sadian Putra sebagai pelaku korupsi termuda yang diketahui publik. Rici, seorang satpam bank, berusia 22 tahun saat terlibat penggelapan dana di Bank Sumsel Babel cabang OKU.
Fakta ini menunjukkan praktik korupsi di Indonesia bisa terjadi di berbagai level profesi dan usia.
Perspektif Unik: Muda Bukan Jaminan Bersih
Nur Afifah Balqis adalah contoh konkret bahwa usia muda bukan imunisasi terhadap korupsi. Dalam banyak diskursus publik, generasi muda sering diposisikan sebagai harapan reformasi politik. Namun, seperti dikatakan pakar hukum Refly Harun dalam kanal Youtubenya, jabatan, kedekatan dengan elite politik, dan lemahnya benteng integritas bisa memupus idealisme seketika.
Hal lain yang perlu dicatat: posisi sebagai bendahara dalam organisasi politik sering menjadi celah rawan penyalahgunaan kewenangan. Dalam kasus Nur Afifah, peran itu mempermudahnya mengakses rekening untuk menampung uang suap.
Faktor Penyebab: Lingkaran Kekuasaan dan Godaan Instan
Jika ditelisik lebih jauh, kasus ini mencerminkan problem struktural di politik lokal Indonesia:
- Minimnya transparansi pengelolaan keuangan partai,
- Budaya patronase yang kuat,
- Ambisi menaikkan karier dengan “loyalitas” pada atasan.
Selain itu, usia muda kerap membuat seseorang rentan tergoda validasi sosial: ingin cepat diakui sukses, dekat dengan tokoh berpengaruh, dan memiliki akses pada fasilitas mewah.
Baca Juga: 7 HP Harga Rp2 Jutaan dengan Kamera Terbaik di Kelasnya, Cocok Buat Konten
Apa yang Bisa Dipelajari?
Kasus Nur Afifah memberi pelajaran penting bahwa:
- Rekrutmen politik yang selektif dan akuntabel menjadi prasyarat lahirnya kader berintegritas.
- Transparansi partai politik adalah keniscayaan untuk mencegah penyalahgunaan dana.
- Pendidikan antikorupsi sejak dini perlu lebih digiatkan, terutama bagi generasi muda yang terjun ke politik.
- Masyarakat perlu lebih kritis terhadap glorifikasi figur muda tanpa menguji rekam jejaknya.
Potret Politik Lokal dan Refleksi
Seorang mantan politisi muda yang kini menjadi aktivis antikorupsi mengatakan, “Kadang yang muda hanya dijadikan simbol elektabilitas. Tapi sistem yang busuk tetap sistem yang busuk.” Ucapan itu relevan melihat bagaimana posisi strategis Nur Afifah tak diimbangi mekanisme kontrol internal yang baik.
Ironi terbesar dalam kasus ini: usia muda yang seharusnya menjadi momentum pembaruan politik malah terjebak dalam praktik klasik korupsii