Cara Melepaskan Beban Emosional serta Ketegangan yang Mengikat dalam Tubuh

Kamis 12 Jun 2025, 19:40 WIB
Ilustrasi merilis emosi yang terperangkap dalam tubuh. (Sumber: Healthline)

Ilustrasi merilis emosi yang terperangkap dalam tubuh. (Sumber: Healthline)

Penelitian tentang koneksi pikiran-tubuh dilakukan sejak awal 1990-an hingga saat ini, mendukung gagasan bahwa kesehatan mental dan emosional memengaruhi kondisi fisik.

Sebagai contoh, rasa takut dapat memicu respons fisik lawan-lari-beku (fight-flight-freeze) dalam tubuh.

Baca Juga: Makanan Ternyata Punya Dampak Besar pada Kesehatan Mental, Ini Faktanya!

Menurut Nelson, tiga hal itu terjadi saat kita mengalami emosi. Kita mengembangkan getaran emosional, kita merasakan emosi beserta pikiran atau sensasi fisik yang terkait, dan kita memproses emosi tersebut.

Ketika langkah pemrosesan terganggu, energi emosi dapat "terperangkap", menyebabkan ketegangan otot, nyeri, atau penyakit lainnya.

Terapis pikiran-tubuh, Kelly Vincent menganalogikan emosi yang terperangkap dengan membawa ransel besar.

“Ini membebani kita, memengaruhi suasana hati, menguras energi, bahkan dapat merusak jaringan tubuh dan mengganggu fungsi organ,” kata Kelly.

Baca Juga: Penelitian Ungkap Kromosom Y Terus Menghilang, Apakah Lelaki Terancam Punah? Netizen Kaitkan dengan Isyarat Kiamat

Emosi negatif yang tertekan ini bisa bermanifestasi sebagai kebencian, pengambilan keputusan yang buruk, sabotase diri, reaksi berlebihan, peningkatan stres dan kecemasan, depresi, hingga kelelahan.

Emosi Terperangkap dan Trauma

Memahami emosi yang terperangkap tak bisa lepas dari pembahasan trauma. Hampir setiap orang mengalami trauma dalam hidupnya, baik itu perpisahan, penyakit, kehilangan orang tercinta, atau pengalaman kekerasan dan diskriminasi.

Trauma dapat memengaruhi proses kognitif, terutama pemrosesan memori. Otak mungkin mengodekan memori traumatis sebagai gambar atau sensasi tubuh, dan ketika terpicu, dapat menyebabkan disosiasi atau kilas balik. Fragmen sensorik ini mengganggu proses pemulihan alami otak.

Ketika trauma tidak diproses, efeknya bisa bertahan lama, seperti pada kasus Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD).


Berita Terkait


News Update