Lalu, kita bangun kembali negeri pancasila. Negeri yang melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan menertibkan berdasar pancasila. Lima yang satu, sebagai bintang penuntun.
Di sini undang-undang perekonomian nasional akan memastikannya. Sebab, menghadirkannya adalah jihad iptek dan kemanusiaan serta amanat konstitusi yang harus dipenuhi.
Terlebih kemiskinan kita nomor dua di dunia setelah Zimbabwe (WB, 2025). Padahal, pemilik tambang terbesar di dunia adalah Indonesia (CNBC, 2024). Aneh bukan? Jahilyah kolosalkah kita kini? Mari akhiri.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Warisan Mental Miskin
Di sini, kesadaran profetik menjadi penting. Usaha menyentosakan semua juga vital. Kita harus kerja keras dan cerdas. Dedikasi Agus, Dodi, Hatta, Sogi, Ryo, Herbert, Amin Mujito, Asyhari, Dedi, Firdaus, Rian, Fadil, Ben Barman, Dariyanto dalam menyusun undang-undang itu ditunggu dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Magrib datang tanpa diundang. Kegelisahan sedikit berkurang. Kesentosaan (bebas dari segala dosa, salah dan aniaya/kolonial) makin terlihat di masa depan. Ekonomi kita memang harus sentosa, yaitu sejahtera lahir batin, dunia akherat. Satu frasa yang sudah lama dihilangkan oleh amok neoliberalisme bertahun lalu.
So, mari pastikan hadirnya pikiran baru. State of mind yang kokoh sebagai modal, pondasi dan kejuangan. Tentu tak mudah.
Sebab, kita telah lama menikmati sistem perekonomian yang seperti kasino—di mana aturan mainnya dirancang untuk menguntungkan bandar, konglomerat, oligarki, peng-peng dan orang serakah, bukan menguntungkan rakyat banyak.
Begitu lamanya tradisi sistem itu bekerja, sampai kita lupa dan tidak percaya bahwa "sistem" itulah pangkal kedunguan dan penderitaan warga negara.(*)
