Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)
Bengong. Saat termenung di pojok perpus kampus tercinta -- setelah mengajar, sebuah notifikasi masuk ke telponku.
"Mari kita teruskan penyusunan rancangan undang-undang perekonomian nasional (RUUPN) di tempat biasa," tulis kolegaku. Dejavu. Sepertinya dia tahu aku sedang mencari "ilham di masa lalu untuk hidup di masa depan".
Bergegas aku meluncur. Puluhan ekonom dan ahli hukum telah kumpul terpekur. Terdengar pertanyaan kecil dari yang paling senior, "siapakah negara atau orang kaya di masa modern? Adalah yang banyak uang. Jadi, yang miskin adalah yang tidak punya uang. Bagaimana agar negara atau orang tidak miskin? Mereka harus u(t)ang."
Ia melanjutkan, "inilah skema 'gelap' modernitas yang menjebak negara-negara poskolonial. Mereka gagal memahami 'narasi uang' dan derivatifnya."
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Tanpa Ideologi, Ekonomi Omong Kosong
Dalam sejarahnya, uang memang memiliki beberapa fungsi pokok dari zaman ke zaman, yaitu sebagai alat tukar (medium of exchange). Tentu ini fungsi paling purba. Dengan ontologi ini, uang memudahkan transaksi ekonomi dengan menjadi alat tukar yang diterima secara luas.
Sementara itu, dalam perkembangannya, uang menjadi satuan hitung (unit of account). Ini zaman pertengahan. Uang digunakan sebagai ukuran nilai barang dan jasa, sehingga masyarakat dapat membandingkan harga dan nilai barang yang berbeda.
Makin maju, uang berfungsi sebagai penyimpan nilai (store of value). Dengan konsep ini, uang dapat digunakan untuk menyimpan kekayaan dan nilai daya beli dari waktu ke waktu.
Pada masa modern, uang dijadikan standar pembayaran di masa depan (standard of deferred payment). Dengan posisi ini uang digunakan sebagai standar pembayaran yang tertunda atau alat untuk menyelesaikan transaksi di masa depan.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Kontra Skema Ekonomi Neokolonial
