Kisah Asmat, Petani di Rorotan Jakut yang Sukses Kuliahkan Tiga Anak hingga Jadi Sarjana

Rabu 22 Okt 2025, 20:26 WIB
Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Asmat, saat beraktivitas di lahannya di Rorotan, Jakarta Utara, Rabu, 22 Oktober 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: M Tegar Jihad)

Ketua Kelompok Tani Maju Bersama, Asmat, saat beraktivitas di lahannya di Rorotan, Jakarta Utara, Rabu, 22 Oktober 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: M Tegar Jihad)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta, masih ada secercah ketenangan yang datang dari hamparan hijau sawah di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.

Di lahan pertanian yang luasnya kian menyempit akibat pembangunan, seorang lelaki paruh baya bernama Asmat, 65 tahun, tetap setia menekuni profesi sebagai petani.

Meski tinggal di kota yang identik dengan gedung pencakar langit dan jalanan macet, Asmat memilih bertahan di jalur yang diwariskan turun-temurun dari orang tuanya, menyambung hidup dari sawah.

Dari hasil menanam padi, ia mampu membiayai pendidikan ketujuh anaknya bahkan tiga di antaranya telah kuliah dan dua anaknya telah menyandang gelar sarjana.

“Alhamdulillah anak saya ada tujuh, dua perempuan dan lima laki-laki. Tiga sudah sarjana, dua di antaranya hukum, satu lagi ilmu pemerintahan. Yang satu lagi, masih kuliah semester enam di Cirebon,” ujar Asmat kepada Poskota, Rabu, 22 Oktober 2025.

Baca Juga: Masuk Masa Tanam Padi, Petani di Sobang Pandeglang Gelar Tradisi Sedekah Bumi

Untuk kebutuhan sehari-hari, dia beserta keluarganya menyetok 20 karung beras dari hasil panen.

"Saya kadang ninggalin 20 karung beras untuk itu buat makan anak-anak. ibarat kata kan kalau kita punya beras sudah tenang, kalo lauk ada ikan kalau kita rajin, ada genjer ada kangkung kan bahasanya kan kayak gitu," ujarnya.

Asmat mengaku sudah mengenal lumpur sawah sejak masa mudanya. Ia adalah anak asli Betawi Rorotan, generasi yang mewarisi semangat bertani dari orang tuanya.

“Dari bujangan udah ikut orang tua nyawah. Pesan orang tua cuma satu, kalau Jakarta masih punya sawah, jangan berhenti nyawah,” ujar Asmat.

Pesan itu yang membuat Asmat bertahan, hingga saat ini. Bahkan, dia sempat melontarkan sebuah gurauan khas Betawi ditengah jam istirahatnya.

Suasana di areal pertanian di Rorotan, Jakarta Utara, Rabu, 22 Oktober 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: M Tegar Jihad)

“Kata orang Betawi dulu, kalau punya beras tapi nggak punya duit, masih bisa hidup. Ada kangkung, ada genjer, ada ikan di sawah,” katanya terkekeh.

Kini, Asmat menjadi Ketua Kelompok Tani Maju Bersama Rorotan, yang menaungi sekitar 28 hingga 30 petani.

Total luas garapan kelompoknya mencapai 30 hektare, dengan sistem bagi hasil sesuai kemampuan masing-masing anggota.

“Ada yang ngelola setengah hektare, satu hektare, bahkan dua hektare lebih. Tergantung tenaga dan modalnya,” ujar Asmat.

Rorotan yang berada di pinggiran Jakarta Utara itu, masih memiliki lahan sawah yang luas.

Berdasarkan data kelompok tani, Jakarta Utara masih memiliki sekitar 320 hektare sawah aktif, sebagian besar berada di wilayah Rorotan, Marunda, dan Cilincing.

“Dulu sebelum ada makam Covid dan RDF (Refuse Derived Fuel) itu, sawah di Jakarta Utara bisa sampai 370 hektare,” ujar Asmat.

Kini, selain bertani, sebagian warga juga bekerja di fasilitas RDF yang baru berdiri di sekitar kawasan tersebut.

“Anak muda sini juga banyak yang kerja di RDF. Lumayan, jadi ada tambahan rezeki," ungkap dia.

Sebagai petani di tengah kota besar, Asmat mengaku bersyukur karena saat ini perhatian terhadap sektor pertanian mulai meningkat.

Ia menyebut, sejak adanya program swasembada pangan dari Presiden RI, Prabowo Subianto, banyak lembaga turun membantu para petani di Rorotan.

“Dandim kemarin nyumbang traktor, Puskesmas Rorotan sama Cilincing rutin datang periksa kesehatan petani tiap enam bulan, Bank Indonesia bantu mesin diesel, bahkan Food Station dan Bulog juga langsung beli gabah dari petani sini,” ucap dia.

Berharap Ditetapkan Jadi Lahan Abadi

Dari hasil panen, rata-rata petani bisa menghasilkan sekitar 6 ton gabah setiap tiga bulan sekali. Dengan harga jual Rp6.500 per kilogram atau Rp6,5 juta per ton.

"Padi kalau kita tandur kalau ditandur itu 3 bulan, Tapi sih rata-rata 6 ton 6 tahun itu 3 bulan, 1 ton Rp6,5 juta itu, standar Bulog dikali 6 ton," ucapnya.

Bagi Asmat, menjadi petani bukan soal kaya atau miskin, melainkan soal berkah dan keteguhan hati.

Ia bersyukur, dari sawah yang digarapnya selama puluhan tahun, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya hingga perguruan tinggi tanpa berutang besar.

“Kita hidup bukan nyari kaya, tapi nyari berkah. Kadang kalau anak minta uang, ya bingung. Tapi selalu ada jalan. Bisa pinjam, bisa bayar, yang penting berkah,” ujarnya.

Kini, salah satu anaknya bekerja di fasilitas RDF Rorotan, sementara satu lainnya sudah berkeluarga.

Sebagai petani senior, Asmat berharap pemerintah menjaga sisa lahan pertanian di Rorotan agar tidak tergantikan oleh proyek-proyek pembangunan.

“Harapan kita, lahan ini dijadikan lahan abadi. Jangan sampai petani di Jakarta hilang. Biar nanti bisa dikelola gabungan kelompok tani, mungkin juga dijadikan agrowisata,” ujarnya.

Baca Juga: Perkuat Ketersediaan Pangan, Bulog Serap 10 Ton Jagung Petani Bener Meriah Aceh

Selain itu, dia berharap agar harga pupuk dan obat pestisida bagi hama dapat diturunkan.

"Ya harapannya pupuk biar lebih murah obat-obatan (hama) juga bisa di murahin," ungkap Asmat.

Baginya, sawah bukan sekadar sumber penghasilan, tetapi penyambung hidup bagi warga sekitar.

Ia ingin anak cucunya tetap mengenal lumpur sawah, seperti dirinya dulu ketika mengikuti jejak orang tua.

“Kalau masih ada sawah di Jakarta, artinya masih ada kehidupan,” kata dia. (cr-4)


Berita Terkait


News Update