“Profesi petani akan diminati, jika ada kepastian jaminan sosial, taraf hidupnya meningkat,adanya dukungan kelembagaan keuangan. Terbuka peluang mewujudkan kedaulatan dan kemandirian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidupnya..”, kata Harmoko.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris adalah historis. Sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian, tidaklah terbantahkan, data statistik masih menyebutkan demikian. Meski, sebutan itu, patut direnungkan seiring kian menyusutnya jumlah petani produktif, alih fungsi lahan pertanian semakin masif mendorong arus urbanisasi yang ekspansif.
Data statistik menyebutkan jumlah petani terus menurun.Tahun 2013 misalnya jumlah petani masih mencapai 31,70 juta. Saat ini sebanyak 29,34 juta, turun sekitar 7,45 persen. Bahkan, di sejumlah daerah angka penurunan lebih tinggi, di Yogyakarta misalnya penurunan mencapai 26,26 persen atau sekitar 153 ribu petani dalam 10 tahun terakhir.
Baca Juga: Kopi Pagi: Damai Itu Bersahabat
Bukan hanya penurunan jumlah petani, juga tiadanya regenerasi petani, mengingat jumlah petani muda (berusia 20 – 39 tahun) hanya sekitar 8 persen, sisanya mayoritas berusia 50 – 60 tahun.
Jika demikian halnya, lantas bagaimana kondisinya pada 20 tahun mendatang, berbarengan dengan era Indonesia Emas.
Maknanya, kaum muda ogah menjadi petani meneruskan profesi orang tuanya sebagai petani, terlebih mereka yang bukan berasal dari keluarga petani. Kaum muda berpandangan bahwa petani adalah profesi kurang menarik, konvensional, tidak produktif dan tidak menjanjikan peningkatan kesejahteraan.
Imej semacam ini tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan, mengingat kesejahteraan petani yang cenderung stagnan, sulit berkembang, jika tidak dikatakan memprihatinkan.
Acap menghadapi kenyataan,di saat musim tanam harga komoditas pangan membaik, begitu panen tiba, ketika memetik hasil, harga jual anjlok tak sebanding dengan biaya produksi, termasuk ongkos panen.
Cukup beralasan jika nasib petani- boleh dibilang tak berbanding lurus (linier) dengan hasil pertanian mereka. Hasil produksi yang meningkat tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan.
Baca Juga: Kopi Pagi: Menyatu dengan Alam