POSKOTA.CO.ID - Hari ini tanggal 25 Agustus 2025 sebagai momentum besar bagi gerakan sosial di Indonesia. Dua kabar rencana aksi demonstrasi beredar luas di masyarakat.
Pertama, seruan demo di Gedung DPR RI Jakarta, menyoal tunjangan perumahan Rp50 juta yang diterima anggota DPR. Kedua, rencana Demo Jilid II di Pati, Jawa Tengah, yang sebelumnya ditujukan untuk memprotes kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen.
Namun, hingga hari pelaksanaan, keduanya masih menyisakan tanda tanya besar. Benarkah aksi akan digelar? Ataukah hanya gaung isu yang tereduksi oleh dinamika politik? Masyarakat yang awalnya menaruh harapan terhadap perubahan, kini dihadapkan pada keraguan.
Baca Juga: Daftar Rekomendasi HP 2 Jutaan Terbaik 2025 dengan RAM 8GB, Storage 256GB, Baterai Jumbo!
Rencana Aksi di DPR: Ketidakjelasan Penggerak dan Respons Publik
Seruan Viral di Media Sosial
Beberapa hari menjelang 25 Agustus 2025, ajakan demo di Gedung DPR menggema di media sosial. Platform X (Twitter) hingga grup WhatsApp menjadi medium penyebaran paling masif. Ajakan itu mengatasnamakan “Revolusi Rakyat Indonesia”.
Namun, ada kejanggalan yang segera muncul. Tidak ada organisasi buruh, mahasiswa, atau lembaga sipil resmi yang mengonfirmasi keikutsertaan mereka. Seruan tersebut seolah hanya menjadi riak tanpa kepastian.
Penolakan dari Serikat Buruh dan Mahasiswa
Tokoh buruh, Jumhur Hidayat, bahkan melarang anggota Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) untuk ikut serta. Menurutnya, aksi ini tidak jelas tuntutannya dan tidak ada penanggung jawab resmi.
Hal serupa ditegaskan oleh BEM SI Kerakyatan, yang memastikan tidak ada aksi mahasiswa pada 25 Agustus, sebab mereka sudah melakukan unjuk rasa beberapa hari sebelumnya, yakni 21 Agustus 2025.
Publik dan Kekecewaan
Bagi sebagian masyarakat, seruan demo ini sempat memantik harapan. Tunjangan DPR sebesar Rp50 juta dianggap berlebihan, terutama di tengah kesenjangan sosial yang masih nyata. Namun, ketika aksi tak kunjung jelas, masyarakat justru merasa “digantung” dalam kekecewaan.
Demo Pati Jilid II: Antara Perlawanan dan Perdamaian
Aksi Pertama dan Latar Belakang
Di Pati, Jawa Tengah, suasana berbeda sempat tercipta. Aksi demonstrasi pertama menuntut Bupati Sudewo mundur karena kebijakan kenaikan PBB yang dinilai memberatkan rakyat. Massa yang marah kala itu memenuhi jalanan, bahkan berujung pada situasi ricuh.
Sosok Inisiator dan Pembatalan Aksi
Rencana aksi lanjutan pada 25 Agustus digagas oleh Ahmad Husain Hafid, tokoh yang sebelumnya memimpin gelombang protes. Namun, menjelang pelaksanaan, Husain menyatakan membatalkan aksi dengan alasan adanya potensi tunggang politik.
Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, terlebih setelah beredar foto dirinya bersama Bupati Sudewo, keduanya tersenyum dalam balutan suasana damai.
Tuduhan Imbalan dan Klarifikasi
Pembatalan aksi memicu tuduhan bahwa Husain menerima imbalan dari sang bupati. Namun, ia membantah keras. Menurutnya, keputusannya murni demi menghindari eksploitasi politik atas nama rakyat.
Ia bahkan menyatakan rasa hormat kepada Bupati Sudewo yang dinilainya mau mendengar aspirasi masyarakat. Pernyataan ini memperkuat spekulasi: apakah benar terjadi rekonsiliasi, atau sekadar kompromi di balik layar?
Analisis Sosial: Mengapa Aksi Seringkali Melemah?
Fenomena “Seruan Kosong”
Dalam banyak peristiwa politik di Indonesia, seruan aksi seringkali viral di media sosial, tetapi gagal terealisasi. Alasan utamanya adalah minimnya kepemimpinan yang jelas, ketidakjelasan tuntutan, serta keraguan publik apakah aksi benar-benar membawa hasil nyata.
Kepentingan Politik sebagai Bayangan
Rencana demo di DPR maupun Pati sama-sama memperlihatkan bagaimana isu publik mudah diwarnai kepentingan politik. Baik kelompok oposisi, maupun aktor politik lokal, seringkali menjadikan gerakan massa sebagai alat negosiasi kekuasaan.
Perspektif Masyarakat: Harapan vs Kekecewaan
Bagi rakyat, demo bukan sekadar kerumunan di jalanan. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan. Namun, ketika aksi justru gagal terlaksana atau berubah arah, yang tersisa hanyalah rasa kecewa dan pertanyaan: siapa yang sebenarnya diuntungkan?
Manusia dalam Gerakan Massa
- Psikologis Kolektif: Masyarakat yang menaruh harapan pada aksi akan merasa patah semangat ketika gerakan dibatalkan tanpa penjelasan yang transparan.
- Moralitas Pemimpin Aksi: Sosok inisiator sering dianggap pahlawan, tetapi sekaligus rentan dituduh berkhianat ketika memilih jalur damai.
- Ruang Publik Digital: Media sosial memperbesar ekspektasi, tetapi juga memelihara kecurigaan karena sering kali lebih banyak rumor daripada fakta.
- Pelajaran bagi Demokrasi: Gerakan massa perlu transparansi dan kepemimpinan yang konsisten, agar publik tidak merasa ditinggalkan.
Rencana demo besar di DPR dan Pati pada 25 Agustus 2025 menunjukkan betapa rapuhnya hubungan antara rakyat dan isu politik.
Ketika aksi yang semestinya menyuarakan aspirasi justru berakhir dengan pembatalan dan kecurigaan, masyarakat kembali dihadapkan pada kenyataan pahit suara rakyat masih rentan dibungkam, diselewengkan, atau diperdagangkan.
Namun, di balik semua itu, ada pelajaran penting. Perubahan sejati tidak lahir dari seruan yang viral semata, tetapi dari komitmen konsisten, kepemimpinan yang jelas, dan transparansi dalam perjuangan.
Jika tidak, setiap rencana aksi hanya akan berakhir sebagai tanda tanya besar meninggalkan jejak kecewa bagi mereka yang pernah menaruh harapan.