Dulu dengan Rp500.000 seseorang bisa membeli 0,5 gram emas, kini harga yang sama hanya cukup untuk seperempat gram atau bahkan lebih kecil.
Inflasi menggerus daya beli, sementara pendapatan stagnan. Inilah sebabnya banyak rakyat kecil akhirnya menunda bahkan menghentikan investasi emas. Padahal, tujuan awal mereka sederhana: menabung untuk masa depan, melindungi diri dari ketidakpastian ekonomi.
Di sinilah kebijakan pajak emas menjadi kontroversi. Meski niat awal negara adalah menambah penerimaan fiskal, pada praktiknya rakyat kecil ikut terkena imbas lewat harga jual yang semakin mahal.
Perbandingan dengan Negara Lain
Sebagai pembanding, negara-negara maju seperti Swedia atau New Zealand mengenakan tarif pajak penghasilan tinggi, bahkan bisa mencapai 30–40%.
Namun, rakyat di sana rela membayar pajak besar karena manfaatnya terasa nyata pendidikan gratis, layanan kesehatan merata, hingga tunjangan pengangguran yang layak.
Sebaliknya, di Indonesia, bantuan sosial masih minim. Warga miskin menerima bantuan Rp300.000–500.000 per bulan, jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sementara itu, kelas menengah yang kehilangan pekerjaan sering kali tidak mendapat bantuan sama sekali. Hal ini menimbulkan perasaan ketidakadilan rakyat merasa pajak hanya menjadi kewajiban tanpa balas jasa yang layak.
Pajak dan Rasa Ikhlas
Di titik ini, masalah pajak bukan lagi soal angka, melainkan soal rasa. Rakyat bisa ikhlas membayar pajak jika mereka melihat hasil nyata jalan mulus, sekolah gratis, rumah sakit terjangkau, dan lapangan kerja yang terbuka.
Tetapi ketika uang pajak justru dikaitkan dengan korupsi triliunan rupiah, bantuan yang tidak tepat sasaran, atau pemborosan untuk kelompok elite, kepercayaan rakyat pun runtuh.
Banyak masyarakat mengaku, tantangan terbesar bukanlah membayar pajak, tetapi mengikhlaskan pajak yang dibayarkan digunakan untuk hal-hal yang tidak adil. Di sinilah jurang kepercayaan semakin lebar.
Dampak bagi Investor Pemula
Bagi generasi muda atau investor pemula, kondisi ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, emas masih menjadi instrumen yang direkomendasikan untuk melawan inflasi. Namun di sisi lain, harga yang kian mahal membuat langkah pertama untuk berinvestasi terasa berat.
Mereka yang tadinya bisa menyisihkan Rp100.000 untuk membeli 0,1 gram emas, kini hanya mampu membeli 0,05 gram atau bahkan lebih kecil. Lama-lama, investasi emas hanya bisa dijangkau oleh kelas menengah atas, sementara rakyat kecil semakin terpinggirkan.