“Sekarang saya nggak capek lagi. Nunggu pembeli datang ke kontrakan saja,” katanya sambil tersenyum.
Antara Simpati dan Cibiran
Tak dapat dipungkiri, kisah Pak Tarno kembali menjadi bahan perbincangan di media sosial. Banyak warganet bersimpati, namun tak sedikit pula yang menyindir atau bahkan mengejeknya.
“Banyak yang bikin konten dan ngatain saya pengemis. Biarin saja. Orang satu senang, yang lain membenci, biarin,” ujar Pak Tarno menanggapi dengan bijak.
Kalimat itu bukan hanya pernyataan, tetapi bentuk kedewasaan emosional dari seseorang yang telah kenyang makan asam garam dunia hiburan. Ia tidak lagi butuh validasi dari publik. Yang terpenting, ia tetap bisa hidup dengan cara yang jujur dan mandiri.
Di era internet dan budaya viral, banyak tokoh publik yang kerap direduksi menjadi sekadar bahan candaan. Pak Tarno pun sempat menjadi salah satu di antaranya, dengan jargonnya yang banyak dijadikan meme. Namun di balik semua itu, ada manusia yang nyata dengan perasaan, kebutuhan, dan perjuangan.
Melihat Pak Tarno hanya dari sisi hiburan berarti mengabaikan seluruh kisah perjuangan dan nilai-nilai hidup yang ia bawa. Ia adalah representasi dari ribuan seniman Indonesia yang mengabdikan hidupnya pada seni, namun terlupakan ketika sorotan meredup.
Baca Juga: Pria Tanpa Identitas Tewas Tertabrak Kereta di Kembangan Jakbar
Mencari Makna dalam Usia Senja
Perjalanan hidup Pak Tarno memberi kita pelajaran penting tentang keuletan, keikhlasan, dan keberanian untuk memulai kembali dari titik nol. Di usianya yang tidak lagi muda, ia tidak menyerah pada keadaan. Ia tetap bekerja, tetap tersenyum, dan tetap percaya pada kebaikan sesama manusia.
Bantuan dari Willy Salim pun bukan hanya soal uang, tetapi simbol solidaritas antargenerasi. Ketika anak muda mengulurkan tangan untuk membantu yang lebih tua, di sanalah nilai kemanusiaan hidup dan berkembang.
Kisah Pak Tarno juga menyentil kesadaran kolektif masyarakat. Sudahkah kita menghargai para seniman yang membentuk budaya populer kita? Apakah kita hanya memuja mereka saat mereka berada di puncak, lalu meninggalkan saat mereka terpuruk?
Perlakuan terhadap figur seperti Pak Tarno seharusnya menjadi cerminan sejauh mana kita mampu menjadi bangsa yang menghormati dedikasi dan jasa orang-orang yang menghibur kita di masa lalu.
Pak Tarno bukan sekadar pesulap dengan jargon lucu. Ia adalah simbol ketekunan, ketulusan, dan semangat pantang menyerah. Ia menunjukkan bahwa meskipun waktu dan keadaan bisa berubah, identitas seseorang tidak ditentukan oleh popularitas, melainkan oleh nilai-nilai yang ia pegang teguh hingga akhir hayat.