Tradisi Buruk Ekopol Kita

Kamis 31 Jul 2025, 17:07 WIB
Tradisi Buruk Ekopol Kita (Sumber: Istimewa)

Tradisi Buruk Ekopol Kita (Sumber: Istimewa)

POSKOTA.CO.ID – Suatu kali, ekonom John Adam Smith (5/6/ 1723-17/7/1790) berfatwa, "tidak ada seni yang bisa dipelajari dengan cepat oleh pemerintahan kecuali seni menguras uang dari kantong rakyatnya."

Tesis ini memberikan pengetahuan valid bahwa kecepatan pemerintah hari ini dalam menaikkan pajak adalah "seni teragung" yang sedang tersuguhkan. Tentu, di luar jumbo hutang, devisit anggaran dan tradisi KKN.

Memang, jika kita perbandingkan nilai pajak di beberapa negara ASEAN, pajak Indonesia termasuk yang tinggi. Pada pajak pertambahan nilai (PPN) misalnya, Filipina: 12%, Indonesia: 11%, Vietnam: 10%, Laos: 10%, Kamboja: 10%, Singapura: 8%, Thailand: 7%, Malaysia: 6%.

Sedangkan pajak penghasilan badan negara Singapura: 17% (terendah di ASEAN), Thailand: 20%, Vietnam: 20%, Kamboja: 20%, Indonesia: 22%, Malaysia: 24%, Filipina: 25%, Brunei: 18,5%. Sementara pada pajak penghasilan pribadi: Singapura: 0-22%, Thailand: 5-35%, Vietnam: 5-35%, Indonesia: 5-35%, Malaysia: 0-30%, Filipina: 0-35%, Kamboja: 0-20%.

Baca Juga: Apa Saja Rekening Bank yang Diblokir PPATK? Cek di Sini Daftarnya

Pada negara maju yang ekonominya stabil, pajak tinggi sangat bermanfaat karena membiayai layanan publik dan mengurangi kesenjangan ekonomi. Sebaliknya, pada negara kita yang birokratis, feodalis dan tinggi tradisi KKNnya, pajak tinggi itu beban berat bagi warga-negara.

Sebab itu, pajak tinggi justru menghambat pertumbuhan ekonomi karena mengurangi insentif untuk bekerja, berinvestasi, dan berinovasi; pajak tinggi juga meningkatkan biaya hidup, terutama bagi warga-negara miskin; pajak tinggi membuat negara kita kurang kompetitif dalam menarik investasi dan bisnis; pajak tinggi mendorong warga-negara mencari cara untuk menghindari pajak, seperti melalui kolusi dengan petugas dan penyembunyian pendapatan.

Ya. Pajak tinggi juga menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi dan pendapatan pemerintah menurun; pajak tinggi dianggap tidak adil jika tidak ada keadilan dalam sistem pajak, seperti jika orang kaya dapat menghindari pajak lebih mudah daripada orang miskin.

Baca Juga: Fenomena Bendera One Piece di HUT RI Jelang Agustus 2025: Kritik Kreatif Generasi Z atau Sekadar Tren, dan Apa Maknanya?

Dengan skema ekonomi seperti di atas, ini bagai mengulang kinerja para ekonom di seputar istana pra reformasi yang berujung tumbangnya rezim Orde Baru. Mereka membuat ekopol Indonesia bagai bayang fatamorgana: menipu pandangan mata, mengecoh opini publik. Mereka merubah negara pancasila menjadi negara swasta.

Padahal, ekonom Paul Krugman (1953/Nobelis ekonomi 2008) saat hidup di jantung kebejatan negara swasta atau dominasi pikiran pasar, pernah berfatwa agung, "jangan jadikan negaramu perusahaan." Jika itu dilakukan, tibalah kehancuran arsitektur negara dan warganya.


Berita Terkait


News Update