Tawuran Masih Marak di Jakarta, Pakar Sebut 3 Faktor Ini Jadi Pemicu

Senin 28 Jul 2025, 17:24 WIB
Ilustrasi tawuran. (Sumber: Poskota/Arif)

Ilustrasi tawuran. (Sumber: Poskota/Arif)

KEBAYORAN BARU, POSKOTA.CO.ID - Aksi tawuran, terutama yang melibatkan pelajar, kembali menjadi sorotan karena semakin marak dan sadis. Fenomena yang sudah lama ada di kota-kota besar, seperti di Jakarta kini menunjukkan eskalasi yang mengkhawatirkan.

Bahkan, hampir setiap harinya, Polda Metro Jaya dan jajaran selalu melakukan penangkapan pemuda yang membawa senjata tajam untuk tawuran.

"Ada tiga poin utama yang menjadi pemicu. Pertama, remaja memiliki keluangan waktu yang besar dan belum dibebani tanggung jawab seperti orang dewasa,” ujar pengamat sosial, Devie Rahmawati, saat dihubungi, Senin, 28 Juli 2025.

"Kalau pekerja terluka karena tawuran, keluarganya tidak bisa makan. Remaja tidak punya pertimbangan seperti itu," ujarnya.

Baca Juga: Polda Metro Berkomitmen Berantas Tawuran Remaja

Poin kedua, kata Devie, kemampuan berpikir remaja belum matang sepenuhnya. Penelitian menunjukkan bahwa kemampuan kognitif baru berkembang sempurna pada usia 24 tahun. Akibatnya, emosi remaja tumbuh lebih cepat dibandingkan kemampuan mereka untuk berpikir logis.

“Hal sederhana seperti ledekan di media sosial atau melihat teman yang tampak lebih keren bisa memicu gesekan hingga tawuran,” jelas Devie.

Selanjutnya poin terakhir, adalah dorongan untuk mencari eksistensi atau jati diri. Devie menegaskan bahwa motivasi utama tawuran bukanlah uang, melainkan keinginan untuk diakui dan dikenang. Semakin sadis aksi yang dilakukan, semakin besar peluang mereka untuk dielu-elukan, terutama di era media sosial.

“Dulu berita tawuran menyebar lewat gosip, sekarang ada live streaming, semua terekam dan viral,” kata Devie.

Selain itu, Devie juga menyoroti kurangnya ruang bagi remaja untuk menyalurkan energi dan bakat mereka di Indonesia. Menurutnya, anak-anak yang tidak memiliki prestasi akademik atau non-akademik sering kali tidak mendapatkan perhatian atau 'panggung' untuk menunjukkan jati diri mereka.

Akibatnya, jalanan menjadi tempat mereka mencari eksistensi. “Di luar negeri, semua anak dihargai dan diberikan panggung melalui berbagai ekstrakurikuler, bahkan hingga 120 jenis. Mereka sibuk dan punya wadah untuk diapresiasi," ucap ungkap Devie.


Berita Terkait


News Update