JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Sebanyak 603.999 Keluarga Penerima Manfaat (KPM) penerima bantuan sosial (bansos) di Indonesia diduga terlibat dalam aktivitas judi online (judol).
Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan judol tidak mengenal batas kelas ekonomi. Sehingga perlunya pendekatan khusus untuk menangani judol, terutama di kalangan masyarakat miskin.
“Perlu sekali (pendekatan berbeda). Sebenarnya jika pemerintah memiliki database yang baik dan aturan yang tegas, maka pemerintah bisa menentukan kalau penerima bansos itu syaratnya tidak boleh terlibat judi online,” ujar pakar keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, saat dihubungi, Poskota, Minggu, 27 Juli 2025.
Alfons menyarankan agar Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang terdeteksi bermain judi online dapat menjadi dasar untuk mendiskualifikasi satu keluarga dari daftar penerima bansos.
Namun demikian, ia juga menekankan pentingnya kehati-hatian dalam penerapan aturan ini. Ia juga merekomendasikan evaluasi berkelanjutan untuk memastikan efektivitas kebijakan dan penyempurnaan database agar semakin akurat.
Baca Juga: Ratusan Ribu Penerima Bansos Terindikasi Main Judol, Kemensos Evaluasi KPM Secara Ketat
“Hal ini harus dijalankan dengan sangat selektif dan tepat sasaran, jangan sampai salah data atau data NIK dipalsukan lalu jadi sasaran salah blokir. Awal-awal pasti banyak salah, namun harus belajar dan cepat diperbaiki,” ucap Alfons.
Menurut Alfons, pemberantasan judol bukanlah soal teknologi yang tidak memadai atau kurangnya keseriusan pemerintah.
Alfons mengatakan, sebenarnya ini bukan masalah teknologi yang dimiliki oleh pemerintah itu mumpuni atau tidak serius. Namun, memang judol memiliki karakteristik yang jauh lebih sulit ditangani dibandingkan judi offline.
“Judi offline saja tidak mudah dibasmi karena terkadang ada keterlibatan aparat. Tetapi judi offline ancamannya relatif lebih rendah karena sifatnya offline, sehingga mudah diawasi dan dibatasi pengaksesnya,” beber Alfons.
Judol, lanjut Alfons, merupakan ancaman yang lebih berbahaya karena memanfaatkan akses internet yang tidak terbatas secara fisik. Sasarannya masyarakat umum, khususnya menengah bawah.