Sementara di Indonesia, kata Devie, hanya anak-anak berprestasi seperti juara olimpiade yang mendapat perhatian. Maka tawuran menjadi lebih masif karena minimnya wadah positif bagi remaja. Untuk mengatasi maraknya tawuran, Devie menekankan pentingnya memberikan perhatian dan wadah yang tepat bagi remaja.
Baca Juga: Pemprov Soroti Tawuran Berdarah di Jakarta, Berencana Bentuk Satgas
Sehingga dengan demikian, Devie mengatakan, pemerintah, sekolah, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menyediakan ruang bagi anak-anak menyalurkan energi mereka secara positif, seperti melalui kegiatan ekstrakurikuler yang beragam.
Selain itu, pola asuh yang lebih disiplin dan penuh perhatian dari orang tua juga menjadi kunci untuk mencegah anak terjerumus dalam perilaku berisiko.
“Anak-anak butuh panggung untuk menunjukkan jati diri mereka. Jika tidak diberikan, jalanan akan menjadi panggung mereka,” beber Devie.
Lebih lanjut, menurut Devie, jika dulu tawuran sering terjadi saat jam sekolah atau pulang sekolah, kini aksi tersebut kerap berlangsung pada malam hingga dini hari. Ia mengaitkan hal ini dengan perubahan pola asuh orang tua yang cenderung membebaskan anak demi dianggap sebagai orang tua “modern”.
“Sekarang anak pulang jam berapa pun boleh, diberi motor meski belum punya SIM, dan hidup bebas. Ini pintu masuk petaka bagi anak-anak kita,” keluh Devie.