POSKOTA.CO.ID - Dalam budaya kita, konsistensi sering dipuja sebagai salah satu bentuk integritas. Kita diajarkan sejak kecil untuk “berpegang pada prinsip”, “mempertahankan pendirian”, atau “setia pada kata-kata sendiri.” Namun, ada garis tipis yang membedakan integritas sejati dengan sekadar keras kepala.
Melansir dari Threads @Timothy Ronald, seorang pembicara publik dan figur motivasi, menyinggung hal ini dengan kalimat lugas:
“Hanya orang bodoh yang bangga tidak pernah berubah pikiran.”
Ucapan ini bisa memicu kontroversi, tetapi di baliknya ada pesan penting: keberanian merevisi opini adalah tanda pertumbuhan intelektual. Banyak orang takut diolok-olok sebagai “menjilat ludah sendiri”, padahal justru dengan keberanian itulah seseorang bisa berkembang.
Pikiran yang stagnan hanya akan memenjarakan potensi manusia dalam kotak sempit yang disebut ego.
Baca Juga: Cara Investasi Uang Rp10 Juta yang Benar Ala Timothy Ronald, Jangan Salah Kaprah!
Perspektif Unik: Manusia dan Evolusi Pendapat
Sebagai manusia, kita hidup di zaman di mana perubahan terjadi setiap detik. Informasi baru datang tanpa henti. Pengetahuan yang kemarin dianggap benar, hari ini bisa terbukti keliru.
Mari bayangkan seorang dokter pada abad ke-19 yang meyakini teori miasma (penyakit disebabkan oleh udara buruk). Setelah teori kuman muncul, banyak tenaga medis harus menelan gengsi dan mengakui pendapat lama salah total. Kalau mereka memilih bersikukuh pada teori usang demi citra “konsisten,” mungkin manusia akan tetap berperang melawan epidemi dengan cara yang salah.
Begitu pula dalam kehidupan pribadi: keyakinan yang dahulu mungkin tidak sesuai lagi dengan realitas hari ini. Hubungan, karier, pola asuh anak—semuanya menuntut adaptasi.
Inilah uniknya manusia: kita bukan makhluk yang statis. Dunia berubah, manusia bertumbuh.
“Menjilat Ludah Sendiri”: Stigma yang Tidak Selalu Relevan
Istilah menjilat ludah sendiri memang terdengar sinis. Ia kerap dipakai untuk mempermalukan orang yang merevisi ucapan atau pendirian. Namun, jika dipahami lebih dalam, stigma ini lahir dari dua sumber:
- Ketakutan Kolektif Akan Ketidakpastian
Masyarakat lebih nyaman dengan sesuatu yang tetap. Kita lebih mudah percaya kepada pemimpin yang selalu “kelihatan yakin.” Tapi yakin tanpa bukti adalah bentuk arogansi. - Dorongan Ego Pribadi
Banyak orang takut dibilang plin-plan, padahal situasi berubah. Konsistensi yang membabi buta tak lebih dari manifestasi ego.