POSKOTA.CO.ID - "Investasi bukan soal mengejar cepat kaya, tapi soal belajar sabar, mengelola nafsu, dan menghargai proses.” -Timothy Ronald
Pernyataan sederhana ini seolah menjadi pengingat yang relevan bagi siapa saja yang pernah terjun ke dunia investasi. Dalam era digital yang serba instan, banyak orang terpikat pada janji keuntungan cepat.
Namun, perspektif Timothy Ronald menunjukkan bahwa fondasi investasi justru bertumpu pada kesabaran, disiplin, dan kemampuan mengendalikan emosi.
Baca Juga: Akses Ditutup Warga, Siswa SMAN 6 Tangsel Jalan Kaki 300 Meter di Hari Pertama Sekolah
Perspektif Unik Manusia: Mengapa Kita Selalu Ingin Cepat Kaya?
Sebagai manusia, naluri untuk mencari jalan pintas muncul dari dua dorongan dasar: ketakutan (takut ketinggalan peluang) dan keserakahan (keinginan mendapatkan lebih banyak dalam waktu singkat). Ketika harga saham atau aset kripto naik signifikan, dorongan untuk ikut-ikutan membeli sering kali lebih kuat daripada pertimbangan rasional. Begitu pula saat pasar anjlok, panik menjual terasa lebih nyaman ketimbang bertahan.
Kita sering lupa, pasar bukan tempat untuk membuktikan siapa yang paling cepat kaya, melainkan arena pembelajaran diri yang panjang. Timothy Ronald dengan jujur mengakui:
“Keputusan terburuk yang gua bikin di market selalu lahir dari ingin cepat untung, ingin cepat menang.”
Ungkapan ini mencerminkan realita banyak investor: kerugian terbesar biasanya datang bukan dari kekurangan informasi, melainkan ketidakmampuan mengendalikan diri.
Menghargai Proses: Seni Menunda Kepuasan
Satu hal yang membedakan investor sukses dan gagal bukan hanya ilmu, tetapi time horizon. Artinya, seberapa panjang kesabaran seseorang untuk menanti buah investasinya matang.
Seorang psikolog terkenal, Walter Mischel, dalam eksperimen marshmallow yang legendaris, menunjukkan anak-anak yang mampu menunda kepuasan cenderung lebih berhasil dalam hidup dewasa. Prinsip serupa berlaku di pasar modal: Anda akan diuji oleh fluktuasi harga, opini publik, hingga rumor yang mengguncang ketenangan.
Dalam konteks ini, kesabaran bukan sekadar kebajikan, melainkan senjata utama. Berinvestasi berarti menyiapkan mental untuk menerima naik-turun nilai aset, tanpa terjebak pada euforia atau keputusasaan.