POSKOTA.CO.ID – Sebuah studi pada tahun 2021 mengungkapkan bahwa rata-rata orang menghabiskan waktu selama 3 jam 15 menit setiap hari untuk scroll di internet.
Jika dijumlahkan, itu setara dengan satu hari kerja setiap minggu, atau 52 hari kerja dalam setahun. Artinya, dalam satu tahun, seseorang menghabiskan sekitar 700 jam hanya untuk scroll.
Lebih jauh, jika kebiasaan ini dilakukan secara konsisten dari usia 25 hingga 80 tahun, seseorang bisa kehilangan hampir empat tahun hidupnya hanya untuk aktivitas digital pasif ini.
“Kita semua melakukannya setiap hari, dan sebagian besar dari kita sadar bahwa itu bukan hal yang baik. Tapi yang banyak orang tidak sadari adalah kebiasaan scroll tanpa akhir sebenarnya sedang membajak otak kita,” kata Gayathri Arvind, dikutip oleh Poskota dari kanal YouTube Abhasa - Mental Health pada Rabu, 9 Juli 2025.
Arvind, yang selama enam tahun terakhir memimpin pusat rehabilitasi untuk gangguan mental dan kecanduan, menjelaskan tiga cara bagaimana kebiasaan ini mempengaruhi otak manusia.
Pembajakan Otak Emosional
Menurut Arvind, kebiasaan scroll secara tiba-tiba bisa mengaktifkan sistem limbik di otak yang berfungsi mengatur emosi. “Misalnya, Anda hanya ingin melihat jam, lalu tiba-tiba muncul video, headline, atau reel. Tanpa sadar, sudah satu jam berlalu,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa sistem limbik merespons hal-hal yang emosional seperti ketakutan, kebahagiaan, kesedihan, atau nostalgia.
Respons tersebut memicu reaksi fisik seperti meningkatnya detak jantung, ketegangan otot, dan pelepasan hormon stres kortisol.
“Saat itu terjadi, bagian otak yang membantu Anda berpikir jernih, yaitu prefrontal cortex, mulai melambat. Inilah yang disebut sebagai emotional hijack,” ujarnya.
Baca Juga: Hati-Hati! Main Media Sosial Berlebihan Bisa Picu Gangguan Mental
Pembajakan Sistem Dopamin
Arvind menjelaskan bahwa setiap kali seseorang melakukan scroll, otaknya mendapat dorongan dopamin kecil.
“Dopamin bukan hanya zat kimia kesenangan, tapi juga zat kimia antisipasi. Otak menjadi lebih bersemangat dengan harapan mendapatkan reward ketimbang reward itu sendiri,” katanya.
Kondisi ini mirip dengan pola dalam mesin judi atau kecanduan taruhan.
“Scroll demi scroll menciptakan harapan bahwa video berikutnya akan lebih memuaskan, padahal tidak pernah ada garis akhir. Ini adalah jebakan variabel reward yang membuat sistem dopamin kelelahan,” jelas Arvind.
Baca Juga: Mengapa Remaja Indonesia Rentan Alami Gangguan Mental? Simak Penjelasannya
Pembajakan Sistem Istirahat Tubuh
Efek lain dari scroll yang berlebihan adalah terganggunya kemampuan tubuh untuk masuk ke mode istirahat.
Arvind menyebut bahwa sistem saraf simpatis (fight or flight) terus berada dalam kondisi aktif ringan, bahkan ketika seseorang sudah berhenti menggunakan ponsel.
“Itu sebabnya Anda bisa tidur delapan jam tapi tetap merasa lesu keesokan harinya. Tubuh Anda tidak benar-benar beristirahat karena tidak merasa aman,” jelasnya.
Baca Juga: 3 Aplikasi untuk Cek Kesehatan Mental
Solusi: Putus Siklus dengan "Closure, Connection, Calm"
Arvind menegaskan bahwa solusi ideal memang berhenti scroll sepenuhnya, namun mengakui hal tersebut tidak realistis bagi sebagian besar orang. Sebagai gantinya, ia menyarankan tiga langkah untuk menghentikan efek pembajakan ini:
- Closure (Penutupan): “Video tidak akan memberi Anda penutupan. Anda harus memberikannya secara eksternal, misalnya dengan merapikan tempat tidur atau menulis satu pikiran dalam buku catatan. Itu sinyal bagi otak untuk keluar dari loop.”
- Connection (Koneksi): “Berinteraksilah dengan orang secara langsung tanpa ponsel. Memandang mata seseorang dan mendengarkan memberi sinyal keamanan yang lebih kuat daripada kebisingan digital.”
- Calm (Ketenangan): “Sediakan minimal 15 menit dalam sehari tanpa distraksi apa pun. Ketika tubuh mendapat sinyal bahwa tidak ada yang datang, saat itulah ia mulai benar-benar rileks.”
Menurut Arvind, ketika otak dan tubuh diberi penutupan, koneksi, dan ketenangan, kebiasaan scroll akan perlahan menurun secara alami.