Menurut data dari Bursa Efek Indonesia, berikut adalah struktur pemegang saham utama:

Menariknya, tidak ditemukan nama pejabat publik dalam komposisi pemilik saham. Namun, isu simbolik tetap mengemuka, terlebih dalam konteks penggunaan nama yang seolah-olah mencatut tokoh penting negara.
Etika Penamaan Kapal: Di Antara Kebiasaan dan Kontroversi
Beberapa netizen mempertanyakan maksud di balik penggunaan nama-nama tokoh nasional pada kapal tambang. Akun @Xerathvox menulis bahwa penamaan ini seperti “pemanis simbolik” untuk menutupi dampak lingkungan, sementara @HukumDan menilai hal ini berpotensi menyesatkan publik.
Namun, ada juga pihak yang menganggap hal ini wajar. Akun @gumpnhell mencuit bahwa kapal di kawasan Indonesia Timur sering diberi nama tokoh nasional, seperti “Megawati” dan “Soekarno”. Penamaan kapal dengan referensi lokal atau nasional, menurut mereka, merupakan praktik umum selama tidak melanggar hukum.
Apakah Penamaan Kapal Tokoh Nasional Melanggar Hukum?
Hingga saat ini, belum terdapat regulasi eksplisit yang melarang penggunaan nama tokoh nasional pada kapal niaga. Undang-Undang Pelayaran maupun peraturan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut tidak mengatur secara rinci mengenai pembatasan nama kapal, kecuali yang berpotensi menimbulkan kekacauan administratif atau duplikasi.
Namun dari sudut pandang etika bisnis, penggunaan nama seperti “Dewi Iriana” atau “JKW Mahakam” berisiko menciptakan interpretasi publik yang bersifat politis.
Ketika aktivitas perusahaan berpotensi merusak lingkungan dan dilakukan di kawasan sensitif seperti Raja Ampat, aspek simbolik seperti nama kapal dapat memperkuat kesan eksploitasi.
Pihak perusahaan, hingga artikel ini diterbitkan, belum memberikan klarifikasi resmi terkait motif penamaan kapal-kapal tersebut.
Dampak Lingkungan di Raja Ampat: Isu yang Lebih Besar
Di balik polemik nama, terdapat persoalan yang lebih mendasar: potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan pengangkutan nikel di Raja Ampat. Wilayah ini merupakan kawasan konservasi laut kelas dunia, dan ditetapkan sebagai bagian dari program wisata prioritas nasional.
Masuknya kapal-kapal tambang dengan kapasitas besar ke wilayah ini menimbulkan risiko terhadap ekosistem terumbu karang, biota laut, serta kehidupan masyarakat adat yang bergantung pada laut.
Aktivis lingkungan dan akademisi maritim telah beberapa kali memperingatkan bahwa kegiatan seperti ini mengancam keberlanjutan alam Raja Ampat dalam jangka panjang.
Baca Juga: Guru Besar UI Sebut Pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka Tak Mungkin Terjadi