BSU dianggap lebih siap dijalankan karena datanya sudah tersedia dan telah melalui proses validasi.
"Desain awal BSU memang sempat diragukan karena data penerimanya masih harus dibersihkan. Namun kini, data dari BPJS Ketenagakerjaan sudah valid dan siap dimanfaatkan. Maka dari itu, kita bisa mentargetkan BSU secara lebih cepat dan tepat," tambah Sri Mulyani.
BSU sebelumnya pernah diimplementasikan selama masa pandemi COVID-19 dan terbukti efektif dalam memberikan bantuan langsung tunai kepada pekerja formal.
Dalam konteks tahun 2025, program ini dianggap sebagai solusi yang lebih efisien dalam menyalurkan stimulus fiskal, dibandingkan pemberian subsidi langsung terhadap tarif listrik yang sifatnya lebih umum.
Kendati demikian, keputusan ini menimbulkan reaksi beragam dari masyarakat.
Baca Juga: Ternyata Ini Penyebab Diskon Tarif Listrik 50 Persen Juni 2025 Batal Diberikan
Sebagian besar kritik datang dari kalangan pengguna media sosial yang menilai bahwa diskon listrik memiliki cakupan yang lebih merata.
Diskon dianggap dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat, baik pekerja formal, informal, hingga kelompok rentan yang belum terdaftar dalam sistem formal.
"Justru lebih tepat sasaran kalau diskon tarif listrik. Kalau BSU yakin nggak ada yang main belakang? Lucu negeri Konoha ini," tulis salah satu warganet @zxnxh*** dalam komentar yang viral.
"Berarti bantuannya nggak merata. Malah yang dapat itu yang gajinya sudah termasuk UMR. Apalagi syarat dapat bantuan upahnya harus terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan," komentar akun @yhe.zaa_.***
Pandangan tersebut menunjukkan adanya kekhawatiran terkait ketepatan sasaran dan transparansi pelaksanaan BSU.
Selain itu, BSU dinilai tidak menyentuh masyarakat miskin non-pekerja, ibu rumah tangga, maupun pelaku UMKM informal yang tidak terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan.