Penjelasan tersebut memperlihatkan bahwa perbedaan bentuk iket atau tutup kepala bukan hanya soal estetika, tetapi juga cerminan posisi geografis dan struktur sosial budaya masyarakat Nusantara.
Arsitektur sebagai Cerminan Budaya
Tidak hanya soal pakaian dan penutup kepala, Dedi Mulyadi juga menyinggung soal bentuk atap rumah tradisional sebagai metafora lain dari keberagaman budaya di Indonesia.
"Saya pelajari, makin ke timur, atap bangunan makin pendek. Makin ke barat, makin tinggi. Ini juga bisa jadi representasi karakteristik masyarakat masing-masing," ujarnya.
Penjelasan ini memperlihatkan betapa Dedi Mulyadi memiliki perhatian besar terhadap unsur-unsur budaya lokal sebagai fondasi kepemimpinannya.
Baginya, mengenal dan menghargai kearifan lokal merupakan bagian penting dari pembangunan yang berkelanjutan dan berakar pada nilai-nilai masyarakat.
Saling Menghargai Perbedaan
Dalam perbincangan tersebut, Dedi Mulyadi juga mengungkapkan rasa hormatnya kepada Natalius Pigai yang selama ini dikenal sebagai tokoh nasional yang berpikiran kritis dan independen.
"Saya memperhatikan Bapak sejak di Komnas HAM. Cara pandang Bapak berbeda, dan yang berbeda itu selalu menjadi perhatian. Perbedaan itu justru menjadi kekuatan," ungkap Dedi.
Dalam responsnya, Natalius Pigai menyambut baik pernyataan tersebut.
Ia menjelaskan bahwa Kemenkumham merupakan lembaga yang terbuka terhadap segala diskusi, dan jabatan bukanlah penghalang untuk berdialog secara setara.
"Di ruangan ini, jabatan menteri sudah tidak berlaku. Kita semua bisa berdiskusi secara bebas," ucap Pigai.
Kunjungan dengan Tujuan Sosial
Selain membahas simbolisme budaya, kunjungan Dedi Mulyadi ke Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki agenda serius.
Ia menyampaikan keprihatinan atas berbagai persoalan sosial yang dialami remaja di Jawa Barat, termasuk persoalan kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan akses pendidikan yang belum merata.