Mirah hanyalah satu dari jutaan perempuan yang terjerat pinjaman online. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Januari 2025, terdapat 11,7 juta nasabah perempuan dalam layanan pinjol melampaui jumlah nasabah laki-laki sebanyak 11,5 juta.
Tak hanya jumlahnya yang dominan, nilai pinjaman perempuan pun lebih besar: Rp39,8 triliun dibandingkan laki-laki yang hanya Rp34,2 triliun.
Tren ini telah terjadi sejak 2022 dan menunjukkan bahwa persoalan pinjol bagi perempuan bukan sekadar masalah personal, melainkan fenomena struktural yang perlu ditangani serius.
Faktor Pendorong Perempuan Gunakan Pinjol
Menurut Mike Rini, perencana keuangan sekaligus CEO MRE Financial & Business Advisory, ada beberapa faktor yang membuat perempuan lebih rentan terhadap pinjol. Di wilayah perkotaan, beban hidup yang tinggi, kemudahan akses aplikasi, serta tekanan sosial menjadi penyebab utama.
“Perempuan merasa harus mendukung keluarganya secara finansial. Ada ekspektasi sosial yang membuat mereka mencari alternatif cepat saat darurat keuangan,” ujar Mike.
Situasi ekonomi yang tidak stabil, kehilangan pekerjaan, atau menurunnya pendapatan turut menjadi pemicu. Ironisnya, sebagian perempuan tidak menyadari besarnya bunga pinjol akibat ketidaktahuan terhadap struktur biaya yang tidak transparan.
Pinjol di Desa: Minim Literasi, Tinggi Risiko
Berbeda dengan di kota, perempuan di pedesaan umumnya terjebak karena paparan iklan dan kurangnya akses ke sumber pinjaman formal. Dalam beberapa kasus, mereka bahkan tidak menyadari telah menjadi debitur karena proses pencairan dana dilakukan secara sepihak.
“Bahkan ada yang belum menyetujui apa-apa, tahu-tahu uang masuk. Akhirnya mereka terikat pinjaman secara otomatis,” jelas Mike.
Minimnya akses terhadap produk keuangan formal dan ramah membuat perempuan desa menjadi sasaran empuk pinjol berbiaya tinggi. Mereka tidak memiliki banyak pilihan selain menerima penawaran yang merugikan.
Perempuan Sebagai Tulang Punggung Keluarga
Fenomena “female breadwinner” atau perempuan pencari nafkah utama kini kian menonjol. Berdasarkan publikasi “Cerita Data Statistik untuk Indonesia” edisi Maret 2025, sebanyak 14,37% buruh Indonesia pada 2024 adalah perempuan yang menjadi penopang utama ekonomi keluarga.
Pekerjaan utama mereka umumnya adalah usaha perorangan yang tidak dilengkapi jaminan sosial maupun kesehatan. Akibatnya, beban finansial yang ditanggung menjadi ganda.
“Bahkan ibu-ibu yang bukan pencari nafkah utama tetap dituntut mencari uang tambahan untuk biaya sekolah anak. Termasuk biaya-biaya tidak terduga seperti tur sekolah,” ujar Mike.