POSKOTA.CO.ID - Publik sempat menduga ada “whistleblower” atau pelapor eksternal dalam kasus impor gula yang menimpa Tom Lembong.
Namun, berdasarkan dokumen resmi dari Kejaksaan Agung, laporan terhadap Tom justru berangkat dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Audit ini mencermati kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) yang dinilai menyimpang dari prosedur formal, sehingga menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp400 hingga Rp578 miliar.
Bukan sekadar data statistik, audit BPKP menjadi cermin betapa pentingnya prosedur dalam birokrasi. Prosedur bukan sekadar dokumen, tapi pagar hukum yang menjaga akuntabilitas publik. Dalam kasus ini, Kejaksaan tidak menunggu desakan publik, melainkan bergerak berdasarkan laporan institusi resmi negara.
Baca Juga: 4 Tersangka Penganiayaan Suporter Usai Final AFF U-23 Ditangkap, Dipicu Masalah Spanduk
Kebijakan Impor di Tengah Ketidakpastian: Celah Administratif atau Strategi Pasar?
Saat menjabat Menteri Perdagangan (Agustus 2015–Juli 2016), Tom Lembong memberikan izin impor GKM kepada 10 perusahaan swasta tanpa rekomendasi Kementerian Perindustrian. Padahal, Permendag 117/2015 mengatur bahwa impor gula seharusnya melalui koordinasi lintas kementerian dan mendapat persetujuan BUMN.
Dari perspektif manusiawi, langkah Tom ini bisa dipahami sebagai respons atas krisis pasokan gula saat itu. Namun, secara administratif, langkah ini dianggap melangkahi prosedur. Ketegangan muncul dari dualisme antara efektivitas kebijakan jangka pendek dan kepatuhan pada aturan lintas sektoral yang sering kali tumpang tindih.
Kerugian Negara: Validitas Angka atau Tafsir Data?
Menurut BPKP, negara berpotensi kehilangan hingga Rp578 miliar karena kebijakan tersebut. Namun, pakar ekonomi seperti Vid Adrison dari LPEM FEB UI menilai angka ini bisa menyesatkan. Perbandingan harga antara gula kristal mentah dan gula kristal putih dianggap tidak setara karena keduanya memiliki segmentasi pasar dan nilai ekonomi berbeda.
Diskusi ini menyoroti pentingnya kehati-hatian dalam membuat asumsi ekonomi sebagai dasar hukum. Perhitungan kerugian negara tidak cukup dilihat dari selisih harga semata, tetapi juga konteks pasar, waktu distribusi, dan kebijakan intervensi pemerintah.
Pengadilan Tipikor: Sanksi Tanpa Keuntungan Pribadi
Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tipikor Jakarta memvonis Tom Lembong dengan hukuman penjara selama 4 tahun 6 bulan dan denda Rp750 juta. Namun, majelis hakim menolak tuntutan jaksa yang meminta hukuman 7 tahun, karena tidak ditemukan bukti bahwa Tom menikmati keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
Dalam pertimbangan hakim, sikap kooperatif dan rekam jejak Tom sebagai pejabat yang bersih turut meringankan putusan. Perspektif ini penting: bahwa tidak semua pelanggaran administrasi bersumber dari niat jahat. Ini membuka ruang diskusi lebih dalam tentang sistem tanggung jawab kolektif dalam kebijakan publik.