Oleh karena itu, menurut Iwantono, sektor ini tidak tepat disamakan dengan fasilitas umum non-komersial. Smoking area di hotel dan restoran tertentu tetap dibutuhkan, khususnya untuk tamu wisatawan dan kegiatan MICE.
"Pengaturan seharusnya berbasis standar teknis dan pengelolaan, bukan pelarangan total," jelas dia.
Jika Perda KTR yang didorong terlalu restriktif, sebut Iwantono, maka akan berisiko menurunkan daya saing Jakarta dibanding kota tujuan wisata lain seperti Bangkok, Kuala Lumpur, hingga Singapura.
Baca Juga: Supeltas Diklaim Efektif Urai Kemacetan di Jalur Puncak, Polisi Larang Minta Uang dari Wisatawan
"Pelaku usaha tidak boleh dibebani fungsi penegakan hukum. Pengawasan dan sanksi harus proporsional, bertahap, dan mengedepankan edukasi,” ucapnya.
“Begitu juga dengan ketentuan larangan iklan digital harus jelas definisi dan batasannya, agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum atau berdampak pada promosi event dan kerja sama usaha yang sah," katanya.
Sikap PHRI Jakarta, lanjutnya, tegas menolak setiap bentuk kebijakan KTR yang berpotensi mengganggu operasional hotel dan restoran, menurunkan tingkat hunian dan konsumsi, serta mengancam keberlangsungan usaha dan lapangan kerja.
Menurutnya, jangan sampai Perda KTR yang disahkan kemudian menciptakan ketidakpastian hukum bagi investor dan pelaku pariwisata.
"Maka, PHRI Jakarta mendorong DPRD dan Pemprov DKI Jakarta untuk menetapkan Perda KTR yang selaras dengan hasil fasilitasi Kemendagri, memberikan kepastian dan perlindungan usaha serta menjaga keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan ekonomi daerah," ucap Iwan. (pan)
