JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Di tengah hiruk pikuk kota metropolitan Jakarta, masih ada secercah ketenangan yang datang dari hamparan hijau sawah di Kelurahan Rorotan, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara.
Di lahan pertanian yang luasnya kian menyempit akibat pembangunan, seorang lelaki paruh baya bernama Asmat, 65 tahun, tetap setia menekuni profesi sebagai petani.
Meski tinggal di kota yang identik dengan gedung pencakar langit dan jalanan macet, Asmat memilih bertahan di jalur yang diwariskan turun-temurun dari orang tuanya, menyambung hidup dari sawah.
Dari hasil menanam padi, ia mampu membiayai pendidikan ketujuh anaknya bahkan tiga di antaranya telah kuliah dan dua anaknya telah menyandang gelar sarjana.
“Alhamdulillah anak saya ada tujuh, dua perempuan dan lima laki-laki. Tiga sudah sarjana, dua di antaranya hukum, satu lagi ilmu pemerintahan. Yang satu lagi, masih kuliah semester enam di Cirebon,” ujar Asmat kepada Poskota, Rabu, 22 Oktober 2025.
Baca Juga: Masuk Masa Tanam Padi, Petani di Sobang Pandeglang Gelar Tradisi Sedekah Bumi
Untuk kebutuhan sehari-hari, dia beserta keluarganya menyetok 20 karung beras dari hasil panen.
"Saya kadang ninggalin 20 karung beras untuk itu buat makan anak-anak. ibarat kata kan kalau kita punya beras sudah tenang, kalo lauk ada ikan kalau kita rajin, ada genjer ada kangkung kan bahasanya kan kayak gitu," ujarnya.
Asmat mengaku sudah mengenal lumpur sawah sejak masa mudanya. Ia adalah anak asli Betawi Rorotan, generasi yang mewarisi semangat bertani dari orang tuanya.
“Dari bujangan udah ikut orang tua nyawah. Pesan orang tua cuma satu, kalau Jakarta masih punya sawah, jangan berhenti nyawah,” ujar Asmat.
Pesan itu yang membuat Asmat bertahan, hingga saat ini. Bahkan, dia sempat melontarkan sebuah gurauan khas Betawi ditengah jam istirahatnya.
