Investigasi lebih lanjut mengungkap bahwa WFT menerima pembayaran dari hasil penjualan data dalam bentuk mata uang kripto, dengan nilai mencapai puluhan juta rupiah.
Motif: Masalah Keuangan
Berbeda dari gambaran hacktivist yang biasanya memiliki misi ideologis, WFT melakukan tindakannya murni karena masalah keuangan.
Motif ekonomi ini menunjukkan sisi manusiawi dari pelaku tekanan finansial dapat mendorong seseorang untuk menempuh jalur ilegal meski tanpa keahlian formal.
Namun, pilihan tersebut berdampak besar. Tidak hanya merugikan jutaan korban, tetapi juga menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap keamanan data di Indonesia.
Dampak pada Keamanan Siber Nasional
Kasus penangkapan Bjorka kembali menegaskan rapuhnya sistem keamanan siber di Indonesia. Beberapa implikasi penting yang muncul antara lain:
- Krisis Kepercayaan Publik – Kebocoran data berulang membuat masyarakat ragu terhadap keamanan informasi pribadi yang disimpan lembaga publik maupun swasta.
- Kerugian Ekonomi – Data ilegal dapat diperjualbelikan dan dimanfaatkan untuk tindak kejahatan lain seperti penipuan, pencucian uang, hingga pemerasan.
- Tantangan Regulasi – Peristiwa ini menjadi momentum bagi pemerintah mempercepat implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
- Peningkatan Kapasitas SDM – Fakta bahwa seorang tanpa latar belakang IT mampu meretas data jutaan orang menegaskan perlunya edukasi dan pengawasan lebih ketat terhadap dunia maya.
Hukuman yang Mengintai
Atas tindakannya, WFT alias Bjorka dijerat dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara serta denda hingga Rp1 miliar. Pasal yang dikenakan mencakup tindak pidana akses ilegal, pencurian data elektronik, dan distribusi data pribadi tanpa izin.
Hukuman ini diharapkan memberi efek jera, tidak hanya bagi pelaku tetapi juga pihak lain yang berniat melakukan kejahatan serupa.
Baca Juga: Cek Tanggal Pre Order iPhone 17 di Indonesia, Mulai Awal Oktober?
Apakah WFT Benar-benar Bjorka yang Asli?
Meski penangkapan WFT menjadi titik terang, muncul pertanyaan besar di kalangan publik: apakah ia benar-benar sosok Bjorka yang selama ini dikenal luas?
Pasalnya, sejak 2020, Bjorka dikaitkan dengan banyak kasus kebocoran data profil tinggi, termasuk lembaga pemerintah dan penyedia layanan digital ternama. Hingga kini, penyelidikan masih berjalan untuk memastikan apakah WFT memang dalang tunggal, atau hanya bagian dari jaringan yang lebih besar.
Kasus ini menyisakan pelajaran penting. Di satu sisi, masyarakat merasa penasaran sekaligus terkejut karena pelaku ternyata seorang pemuda biasa tanpa pendidikan formal di bidang IT. Di sisi lain, kekhawatiran muncul karena ini berarti siapa pun, dengan sedikit pengetahuan teknologi, berpotensi melakukan kejahatan siber.
Fenomena ini memperlihatkan betapa krusialnya literasi digital. Edukasi publik mengenai keamanan siber bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan mendesak di era digitalisasi.