“Jangan mentang-mentang atas nama kementerian, kemudian memberi izin tanpa koordinasi. Minimal ada rekomendasi dari DKI, karena itu ‘halaman depan rumahnya’. Kalau kepentingannya publik, buka saja transparan,” ucap Yayat.
Baca Juga: Pramono Tegaskan Pemprov Jakarta Tidak Keluarkan Izin Tanggul Cilincing
Lebih jauh, Yayat mempertanyakan dasar hukum penggunaan lahan serta status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) terkait proyek tersebut.
“Kalau kasus reklamasi dulu, HPL-nya ada di DKI. Lalu di atas HPL itu dibangun, diberi HGB. Nah sekarang, HPL-nya siapa? Punya kementerian atau siapa? Apakah izin mendirikan bangunannya sudah ada atau belum?” kata Yayat.
Yayat mendesak pemerintah untuk memperbaiki prosedur pembangunan dengan mengedepankan keterbukaan, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.
“Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Saatnya memperbaiki prosedur dengan keterbukaan. Jangan sampai aturan diabaikan, lalu lebih mudah minta maaf daripada minta izin. Itu yang harus dihindari,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa tata ruang pesisir tidak hanya soal pembangunan infrastruktur, melainkan harus mempertimbangkan kehidupan nelayan dan ruang publik.
Jika tidak sesuai tata ruang, kata Yayat, proyek bisa merugikan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari laut.
“Kalau misalnya di situ ada kehidupan nelayan, apakah proyek itu harus mematikan mereka? Wilayah pesisir itu ruang terbuka publik, jangan hanya jadi ‘tata uang’ bukan tata ruang,” pungkas Yayat. (cr-4)