Tanggul Beton Cilincing Menyulitkan Akses Nelayan, Pengamat Tata Kota Soroti Lemahnya Perizinan

Kamis 11 Sep 2025, 21:31 WIB
Salah seorang nelayan menunjukkan Tanggul Beton di perairan Cilincing, Jakarta Utara, Kamis, 11 September 2025. (Sumber: Poskota/Muhammad Tegar Jihad)

Salah seorang nelayan menunjukkan Tanggul Beton di perairan Cilincing, Jakarta Utara, Kamis, 11 September 2025. (Sumber: Poskota/Muhammad Tegar Jihad)

JAKARTA, POSKOTA.CO.ID - Pengamat infrastruktur dan tata kota, Yayat Supriatna, menyoroti polemik pembangunan tanggul beton di perairan Cilincing, Jakarta Utara, yang belakangan menuai protes nelayan disebabkan oleh akses yang sulit bagi mereka.

Ia menilai persoalan utama terletak pada ketidakjelasan informasi dan lemahnya keterbukaan pemerintah dalam proses perizinan serta kesesuaian dengan tata ruang.

“Sekarang begitu viral, begitu ditunjukkan nelayan dan dilaporkan, semua lepas tanggung jawab. Pertanyaannya, tanggul itu punya siapa dan untuk apa? Mengapa sesudah viral baru kita ribut?” ucap Yayat saat dihubungi Poskota, Kamis, 11 September 2025.

Menurut Yayat, wilayah pesisir secara hukum merupakan kewenangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sementara daratan menjadi otoritas Pemprov DKI Jakarta.

Baca Juga: Pengamat Lingkungan Desak Pemerintah Tindak Tegas Pelaku Pencemaran Laut di Pesisir Cilincing

Masalahnya, kata dia, apakah pembangunan tanggul tersebut sudah sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pesisir Jakarta atau justru melanggar.

“Harusnya kalau ada kegiatan di pesisir, terkonfirmasi dulu apakah sesuai dengan tata ruang atau tidak. Jangan sampai proyek dikerjakan tanpa melihat tata ruang, tanpa jelas plotting-nya. Kalau melanggar tata ruang, itu bisa dipersoalkan,” ungkap Yayat

Yayat mencontohkan kasus reklamasi pulau di Teluk Jakarta yang sempat bermasalah karena tidak tercantum jelas dalam tata ruang.

Hal serupa, menurutnya, bisa terjadi dalam pembangunan tanggul beton di Cilincing.

Selain itu, Ia juga menyinggung soal koordinasi antara KKP dan Pemprov DKI yang dinilainya lemah.

Menurutnya, meski izin diberikan oleh kementerian, seharusnya Pemprov DKI tetap dilibatkan untuk mempertimbangkan aspek sosial dan keberlangsungan hidup nelayan.

“Jangan mentang-mentang atas nama kementerian, kemudian memberi izin tanpa koordinasi. Minimal ada rekomendasi dari DKI, karena itu ‘halaman depan rumahnya’. Kalau kepentingannya publik, buka saja transparan,” ucap Yayat.

Baca Juga: Pramono Tegaskan Pemprov Jakarta Tidak Keluarkan Izin Tanggul Cilincing

Lebih jauh, Yayat mempertanyakan dasar hukum penggunaan lahan serta status Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan Hak Guna Bangunan (HGB) terkait proyek tersebut.

“Kalau kasus reklamasi dulu, HPL-nya ada di DKI. Lalu di atas HPL itu dibangun, diberi HGB. Nah sekarang, HPL-nya siapa? Punya kementerian atau siapa? Apakah izin mendirikan bangunannya sudah ada atau belum?” kata Yayat.

Yayat mendesak pemerintah untuk memperbaiki prosedur pembangunan dengan mengedepankan keterbukaan, agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.

“Kenapa harus sembunyi-sembunyi? Saatnya memperbaiki prosedur dengan keterbukaan. Jangan sampai aturan diabaikan, lalu lebih mudah minta maaf daripada minta izin. Itu yang harus dihindari,” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa tata ruang pesisir tidak hanya soal pembangunan infrastruktur, melainkan harus mempertimbangkan kehidupan nelayan dan ruang publik.

Jika tidak sesuai tata ruang, kata Yayat, proyek bisa merugikan masyarakat kecil yang menggantungkan hidup dari laut.

“Kalau misalnya di situ ada kehidupan nelayan, apakah proyek itu harus mematikan mereka? Wilayah pesisir itu ruang terbuka publik, jangan hanya jadi ‘tata uang’ bukan tata ruang,” pungkas Yayat. (cr-4)


Berita Terkait


News Update