Oleh: Yudhie Haryono (CEO Nusantara Centre)
Krisis daya bayar rakyat sampai titik didihnya. Mereka marah. Mengepung negara. Menyampaikan kritik keras ke pemerintah. Mengutuk kabinet dan DPR. Menghancurkan kepercayaan publik. Menjarah yang terlihat. Memblokir jalan. Konvoi di jalan-jalan utama.
Lalu, dengan lantang dan sadis mereka berkata, "saat tak ada lagi makanan di depan kami, orang kayalah yang akan kami makan." Tentu ini tanda bahaya. Keterbelahan dan ketimpangan di depan mata. Sayangnya elite kita bisu, tuli dan buta.
Ya. Tingkat kemiskinan di Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 16,57%. Artinya ada sekitar 50.44 juta jiwa yang menyandang predikat kaum miskin. Ini belum terhitung yang pengangguran dan korban PHK terbaru serta para pelajar plus mahasiswa yang belum berproduksi. Kalau ditotal bisa mencapai 79 juta jiwa.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Keharusan Reindustralisasi
Tentu, ini merupakan angka kemiskinan yang dahsyat sejak pelaporan pertama pada tahun 1960. Garis kemiskinan pada September 2024 adalah Rp595.242 per kapita per bulan, dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp443.433 dan garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp151.809.
Saat bersamaan, tingkat ketimpangan di Indonesia per September 2024, dengan ukuran gini ratio tercatat sebesar 0,481. Ini menunjukkan kenaikan tingkat ketimpangan tertinggi dalam 15 tahun terakhir. Dengan ketimpangan ini, keluarlah fatwa kaum miskin kota lainnya, "suatu saat si miskin tak akan memiliki apapun untuk dimakan kecuali si kaya." Maka, si kayalah yang akan dijadikan makanannya.
Untung itu belum terjadi. Kaum miskin baru memilih "amok" atau protes keras dengan melakukan tindakan kekerasan massa yang sporadis, tak terstruktur, tanpa komando dan tanpa target besar. Amok ini tentu terjadi karena mereka melihat KKN yang merajalela. Elite mempertontontan harta haram, perzinahan, nepotisme secara membabi buta.
Yang kedua, mereka merasakan perbedaan pendapatan dan kekayaan yang sangat besar dan timpang antara kaum kaya dan kaum miskin di negara Pancasila yang katanya adil untuk semua. Yang kaya makin kaya, sementara mereka makin miskin dan paria.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Menyoal Investasi Asing
Ketiga, karena miskin, mereka merasa mengalami keterbatasan akses terhadap sumber daya seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, perumahan, sandang dan layanan dasar lainnya. Mereka tidak merasa ikut memiliki negara dan pemerintahan Indonesia.
Keempat, mereka merasa frustrasi, putus asa, masa depan suram dan marah atas takdir yang menimpa. Kaum miskin merasa tidak memiliki kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Mereka dieksploitasi dan diperbudak terus.
Kelima, mereka tidak mendapatkan keadilan sisial sebab yang diterima justru ketidakadilan sosial. Bagi mereka kebijakan pemerintah hanya untuk orang kaya, keluarga, kerabat dekat, golongan, suporter, investor dan partainya saja.
Keenam, kaum miskin merasa tidak memiliki saluran yang efektif untuk mengekspresikan keluhan dan tuntutannya. Mereka akhirnya memilih amok sebagai cara untuk mengekspresikan diri. Saat hukum dan agensinya mati, amok itulah hukumnya.
Baca Juga: Ekonomika Pancasila: Republik Kemakmuran
Sayangnya, pemerintah saat ini meresponnya dengan "guyon." Yaitu membuat polisi naik pangkat; politisi naik alphard; TNI naik anggaran; DPR naik tunjangan. Sedangkan kaum miskin cuma naik darah. Lalu, marah!
Menyakitkan, menjijikkan dan jahiliyah. Ketika pemerintah mengeksploitasi kaum miskin, mereka menyebutnya "bisnis." Ketika kaum miskin melawan, mereka menyebutnya "anarkis". (*)