Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (1)

Senin 11 Agu 2025, 06:57 WIB
Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (1) (Sumber: Poskota)

Kopi Pagi: Merajut Kebersamaan (1) (Sumber: Poskota)

Pengantar: Merajut kebersamaan guna memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, tak sebatas retorika, tetapi butuh realita dan aksi nyata. Bukan mengejar citra. Begitupun edukasi nilai -nilai patriotisme dan nasionalisme. Tema tersebut kami sajikan dalam tulisan tiga seri dalam rangkaian peringatan HUT ke- 80 Proklamasi Kemerdekaan RI . (Azisoko),

Kalau pun pada masa lalu terdapat aspirasi politik yang berbeda, bahkan pernah saling berseberangan, kini wajib dihilangkan. Masa depan menjadi milik bersama, bukan lagi milik golongan atau perorangan. Meraih masa depan sebagaimana dicita- citakan wajib dilakukan dengan penuh kebersamaan,” kata Harmoko.  

Bung Karno, sang proklamator, pernah berpesan bahwa “Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!”

Di sisi lain, Bung Hatta, juga sang proklamator juga pernah mengingatkan bahwa jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri.

Makin pudar persatuan dan kepeduliaan, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta.

Dari pesan sang proklamator, founding fathers, para pendiri negeri ini dapat kita petik bahwa merajut kebersamaan di atas keberagaman harus terus dilakukan.

Melalui kebersamaan yang senantiasa kita jaga dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan guna mewujudkan cita –cita sejak negeri didirikan, yakni kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Merajut kebersamaan adalah kata yang mudah diucapkan, tetapi tak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih di era sekarang ini, di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.

Slogan membangun kebersamaan acap kita dengar, bergotong royong sebagai wujud nyata membangun negeri tiada henti kita dengungkan, tetapi fakta yang kita jumpai tak sedikit muncul konflik, ketersinggungan, sikap emosional yang berlebihan yang dapat merenggangkan kebersamaan.

Kita tentu tak ingin adanya kebersamaan semu, kebersamaan yang diwarnai segala prasangka akibat beda latar belakang sosial ekonomi dan sosial politik dan sosial kemasyarakatan.

Kita berharap adanya kebersamaan tanpa prasangka dan curiga akibat beda pandangan, beda dukungan dan aspirasi politik. Kita ingin tetap bersama dalam kebersamaan dengan melepaskan ego pribadi, sektoral dan kepentingan lainnya.

Kita harus satunya kata dengan perbuatan bahwa “masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah milik kamu, masa depan adalah milik kita bersama.”

Selagi masih ada gesekan kepentingan, merajut kebersamaan hanya indah dalam kata, tetapi akan pahit dalam kenyataan.

Yang hendak kami sampaikan adalah lupakan masa lalu, termasuk aspirasi politiknya, jika ingin merajut kebersamaan membangun masa depan lebih baik lagi untuk negeri ini.

Mengapa? Jawabnya setidaknya ada empat hal yang perlu dijadikan catatan.

Pertama, dengan selalu mengungkit masa lalu akan menghambat jalinan silaturahmi kita.

Kedua, dengan selalu mengungkit masa lalu, apalagi dengan kesalahan – kesalahan yang pernah dilakukan, akan membuat pribadi yang bersangkutan merasa tidak nyaman. Tersiksa batinnya.

Ketiga, dengan selalu mempersoalkan masa lalu akan menjadi ganjalan dalam membangun masa depan.

Keempat, dengan terus mengungkit masa lalu, meski dapat hidup bersama, tetapi sejatinya tak ada kebersamaan. Secara fisik boleh jadi bersama – sama – sebut saja berkoalisi, berkolaborasi, tetapi tidak ada kebersamaan.

Sejumlah literatur menyebutkan “kebersamaan” adalah ikatan yang terbentuk karena rasa kekeluargaan/persaudaraan. Lebih dari sekadar bekerja sama atau hubungan profesional biasa karena di dalamnya, lazimnya, lebih mengutamakan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi.

Jika sudah masuk ke dalam rumah yang disebut “kebersamaan “ tadi, dengan sendirinya harus rela melepaskan diri dari beragam latar belakangnya. Tidak lagi bicara soal asal - usulnya dari mana, agama apa, suku mana, kelompok politik mana, dulu tim sukses siapa, mendukung siapa. Begitu pun latar belakang  status sosial ekonominya.

Kalau pun pada masa lalu terdapat aspirasi politik yang berbeda, bahkan pernah saling berseberangan, kini wajib dihilangkan, seperti dikatakan Pak Harmoko dalam kolom "Kopi Pagi" di media ini. 

Karena kebersamaan, masa depan menjadi milik bersama, bukan lagi milik golongan atau perorangan. Maka, untuk meraih masa depan sebagaimana dicita- citakan wajib dilakukan bersama – sama dengan penuh kebersamaan.

Menyongsong HUT ke- 80 Proklamasi Kemerdekaan RI, menjadi momentum bagaimana kebersamaan membangun negeri bukan sebatas retorika, tetapi butuh realita dan karya nyata, bukan mengejar citra.

Sedapat mungkin menyamakan pandangan, bukan memperbesar perbedaan. Menyelaraskan konsepsi, bukan adu argumentasi. Menyatukan aspirasi, bukan membuka peluang kontroversi. Berupaya mengedepankan kepentingan publik, bukan memperbanyak hak milik.

Upaya ini dapat dicapai jika ditopang keteladanan dari pejabat yang telah diberi amanah  untuk bersama rakyat memajukan negeri demi  tercapainya kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan sosial sebagaimana tujuan  negeri ini didirikan.

Keteladanan menjadi penting karena tugas pemimpin adalah membujuk, mengajak dan mengajari serta mendidik masyarakat.

Dalam konteks kebersamaan membangun negeri, berarti merangkul semua pihak, tanpa pembedaan. Memperkecil perbedaan menjadi satu kunci tumbuhnya kebersamaan.Sementara kebersamaan (bersatu padunya) seluruh kekuatan sangat dibutuhkan di era sekarang guna menghadapi beragam tantangan, dan kian kompleksnya permasalahan yang harus segera dituntaskan. (Azisoko).


Berita Terkait


undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Warisan Politik

Kamis 24 Jul 2025, 06:56 WIB
undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Politik Tebar Pesona

Senin 28 Jul 2025, 10:30 WIB
undefined
Kopi Pagi

Kopi Pagi: Moralitas Politik

Senin 04 Agu 2025, 06:00 WIB

News Update