Pramono juga menyampaikan kebijakan yang dianggap berkontribusi pada penurunan tingkat kemacetan di Jakarta, termasuk kewajiban bagi ASN untuk menggunakan transportasi publik setiap Rabu dan integrasi moda transportasi antarwilayah Jabodetabek.
Sebagai tanggapan, Dedi Mulyadi menyatakan bahwa kemacetan di Bandung bukan tanggung jawab gubernur, melainkan walikota.
Ia juga menambahkan dengan nada sindiran bahwa Bandung meskipun macet, tetap terasa dingin dibandingkan Jakarta yang panas.
"Ini kan semacam apa namanya feedback, semacam serangan balik dari Dedi Mulyadi," ujar Adi.
Ketegangan semakin memanas ketika isu banjir turut disinggung. Dedi Mulyadi menolak narasi 'banjir kiriman' dari Bogor ke Jakarta, sembari mengakui bahwa alih fungsi lahan di Bogor berperan dalam memperparah banjir.
Namun, ia menekankan bahwa para pengembang yang merusak lingkungan bukan berasal dari Jawa Barat.
"Kata Kang Dedi pula bahwa bisa ditebak orang mana itu yang suka mengembangkan, orang mana para pengusaha-pengusaha itu yang mengubah alih fungsi lahan," ungkap Adi menirukan pernyataan Dedi.
Baca Juga: Penampakan Sapi Kurban yang Dipesan Presiden RI Prabowo dari Peternak asal Tangerang
Meski berlangsung dalam format yang tampak sengit, Adi melihat dinamika ini sebagai peluang untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan daerah jika dikelola secara konstruktif.
“Rivalitas dalam politik itu menjadi penting. Yang paling penting adalah rivalitas ini diwujudkan dan didesain sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas kepemimpinan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Gubernur Jakarta dan Jawa Barat selalu berada dalam sorotan publik karena keduanya kerap disebut sebagai kandidat potensial dalam kontestasi nasional seperti Pilpres.