Oen Sin Yang, Pewaris Musik Betawi yang Terlupakan dan Menanti Uluran Nyata dari Pemerintah

Minggu 13 Jul 2025, 19:37 WIB
Oen Sin Yang, pewaris musik Betawi di Kota Tangerang yang terlupakan pada Minggu, 13 Juli 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Primayanti)

Oen Sin Yang, pewaris musik Betawi di Kota Tangerang yang terlupakan pada Minggu, 13 Juli 2025. (Sumber: POSKOTA | Foto: Primayanti)

NEGLASARI, POSKOTA.CO.ID - Di antara deretan rumah sederhana di wilayah Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, terdengar lantunan lembut alat musik gesek bernama tehyan.

Suara lirihnya berhasil menyayat sepi, membawa nostalgia masa lalu yang penuh warna.

Di dalam rumah kuning itu, seorang pria sepuh, Oen Sin Yang, 74 tahun, tengah asyik memainkan alat musik tradisional Betawi peninggalan leluhurnya.

Dialah satu-satunya pewaris dan sekaligus pembuat tehyan yang tersisa di wilayah Kota Tangerang, sekaligus seorang seniman yang telah mengabdikan hidupnya untuk musik, namun justru terlupakan oleh zaman dan kebijakan.

Namanya mungkin asing bagi banyak orang, tetapi bagi dunia seni tradisional Betawi, ia adalah penjaga terakhir.

Sejak 1973, pria kelahiran 1951 ini telah menjadi pelestari tehyan, kongahyan, dan sukong, ketiga alat musik gesek yang menjadi roh dalam pertunjukan gambang kromong dan ondel-ondel.

Baca Juga: Sejarah Soto Tangkar Betawi: Lahir dari Keterbatasan Masa Penjajahan Belanda Hingga Jadi Kuliner Legendaris

Ia tak hanya memainkannya, tetapi juga merakit setiap instrumen dari bahan bekas yang ia kumpulkan sendiri.

Bahkan setiap alat musik ia buat dari kayu jati bekas lemari yang ia temukan saat memulung di jalanan.

“Kalau saya enggak buat, siapa lagi? Sekarang tinggal saya satu-satunya. Saat ini saya sedang berusaha ajari anak agar turun temurun ke dia,”ucapnya lirih, sambil mengelus tehyan rakitannya pada Minggu, 13 Juli 2025.

Mirisnya, meski telah puluhan tahun menjaga warisan budaya ini, ia tak pernah mendapat gaji tetap dari pemerintah kota Tangerang.

Berkali-kali ia mencoba mengajukan bantuan atau penghargaan kepada instansi daerah, namun tak pernah kunjung dikabulkan. Kehidupannya jauh dari layak.

Sementara untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, ia dan istrinya harus memulung plastik dan kayu dari dini hari hingga sore.

Dalam sehari, pendapatannya tak lebih dari 30 ribu, jauh dari kata cukup, terlebih untuk seorang seniman yang namanya pernah dipanggil ke panggung nasional.

“Kalau ada festival, saya dipanggil. Tapi hari-hari, saya jalan cari barang bekas. Gaji dari pemerintah? Enggak ada. Pernah minta, tiga kali, enggak turun-turun,” jelasnya sendu.

Baru pada 2023, secercah cahaya datang dari pemerintah pusat. Ia menerima penghargaan nasional atas dedikasinya dalam pelestarian budaya Betawi, lengkap dengan dana apresiasi dan bantuan penghasilan untuk bertahan hidup.

Baca Juga: Teringat Si Doel Anak Betawi dan Bajaj Bajuri, Bagaimana Sejarah Bajaj hingga Menjadi Simbol Khas Jakarta?

Selain tak pernah mengeluh, ia juga tetap mengajar siapa saja yang ingin belajar tehyan, mulai dari anak kecil, mahasiswa, hingga guru seni dari luar kota. Semua ia terima dengan tangan terbuka, tanpa bayaran.

“Yang penting dia bisa. Mau kasih, silahkan. Enggak kasih, saya ikhlas,” ucapnya dengan senyum yang tulus.

Rumah yang kini ia tempati pun adalah hasil bantuan organisasi sosial, setelah sebelumnya hampir roboh dimakan usia. Disana, ia tinggal bersama istri dan anak perempuannya.

Meski usia tak lagi muda, ia tetap bangun pukul empat pagi, membawa karung, menyusuri jalan demi lembaran rupiah yang bisa ia tukar dengan sebotol air galon atau sekantong beras.

Setiap kali ada festival budaya, ia turut hadir. Setiap kali ada peringatan nasional, ia dipanggil. Ia menjadi wajah budaya Betawi yang tak pernah absen. Namun, di luar sorotan panggung, hidupnya sunyi dari perhatian.

“Saya bukan minta dihormati. Saya cuma ingin budaya ini jangan punah. Tapi kalau pemerintah bisa perhatikan, itu lebih baik,” ucapnya.

Kini, dalam senyap, ia masih setia menggesek tehyan, mengajari generasi muda, dan berharap bahwa suatu hari, pemerintah benar-benar melihatnya.

Bukan hanya sebagai pengisi acara seremonial, tapi sebagai penjaga nilai dan sejarah bangsa yang layak diberi ruang hidup yang layak. (CR-1)


Berita Terkait


News Update